Minggu, 13 September 2009

PAPUA BARAT ADALAH TANAH ADAT

Kini di sebut Papua Barat [west papua]. Sebutan Papua pertama kali di berikan oleh JORGE DE MENEZES, gubernur portugis di ternate, yang mendarat di pulau waigeo dan tinggal beberapa bulan di warsai, kepala burung pada tahun 1526 sampai dengan 1527. Ia menyebut wilayah ini dengan sebutan "Ilhas dos Papua". Tahun 1528 Hernan Cortez, seorang penakluk berkebangsaan spanyol mengirim Alvaro de saavreda ceron untuk membebaskan sebuah pos spanyol yang di kuasai portugis di tidore. Ketika itu ia sempat tinggal selama sebulan di schouten island [mungkin biak] dan menyebutnya sebagai "Isla de oro".

Pada tanggal 20 juni 1545 Ynigo ortiz de retes, seorang kapten kapal berkebangsaan spanyol yang berpangkalan di mexico, menancapkan bendera spanyol di suatu tempat di sebelah timur muara sungai mambramo, dan dengan demikian mengklaim kawasan papua sebagai milik raja spanyol dengan sebutan "Nueva Guinea". Pada tahun 1969, Newguinea muncul dalam peta mercator. Pada tahun 1948 pemerintah Hindia belanda mengklaim kepemilikannya atas bagian barat pulau Newguinea sampai sejauh garis bujur 1410. Inilah tonggak-tonggak sejarah di gunakannya nama West papua.

Di atas negri papua barat tidak di jumpai tanah yang tidak bertuan, bahkan setiap bagian tanah, air, dan gunung di beri nama tertentu. Tanah menurut orang papua identik dengan kehidupan manusia, sehingga di beri simbol sebagai seorang ibu atau mama yang selalu mengayomi, melindungi, dan membesarkan seseorang sejak bayi, kanak-kanak sampai mencapai dewasa. [misalnya: orang kamoro menyebut Enai Tapare, orang mybrat sebut Tabam Ramu, atau tanah kami atau tanah ibu.]

Orang papua saat ini merasa kehilangan pegangan hidup akibat sebagian besar hak-hak dasar atas tanah, air, gunung, hutan dan isinya sudah berali ke pihak lain tampa melalui prosedur hukum yang berlaku. Pemerintah pusat berpendapat bahwa masalah keabsahan tanah adat papua barat sebagai bagian dari NKRI telah selesai. Akan tetapi sejarah telah membuktikan dan mencatat bahwa PEPERA yang di laksanakan di papua barat pada tahun 1969 adalah secara tidak demokratis, secara tidak transparan, banyak manipulasi serta tidak melibatkan masyarakat papua barat. Dengan demikian jelaslah bahwa PEPERA tahun 1969 sebagai suatu pelaksanaan penentuan nasib sendiri yang CACAT HUKUM. Oleh karena itu tanah papua masih berstatus sebagai tanah adat orang asli papua. Solusi yang harus di ambil untuk menyelesaikan masalah tanah adat pulau papua barat adalah diadakan dialog terbuka antara Indonesia dengan pemilik tanah adat pulau papua demi terciptanya standar demokratisasi di atas Negri cendrawasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar