Senin, 09 November 2009

MALANESIA

Pengantar

Melanesia adalah sebuah suku, sebuah ras, sebuah satuan manusia dengan budaya dan ras yang khas, berbeda dengan penjajahnya, manusia keturunan proto-Malay, yang secara ras dan suku diperkirakan berawal dari wilayah sekitar Burma. Kalau kita menelusuri kembali sejarah penjajahan dan pemusnahan bangsa ini, kisahnya sungguh menyentuh hati nurani mereka yang masih tersisah, yang masih berada dalam "peti mayat", menunggu hari dan tanggal upacara penguburan.

Bangsa Melanesia, kalau mau dibandingkan dengan teman terdekat mereka secara ras dan budaya, bangsa Negritos di Afrika, maka mereka adalah suku-bangsa yang paling tersiksa dan yang paling lemah. Tidak sama dengan teman terdekat mereka di Afrika, mereka hidup dalam kelompok-kelompok yang sangat kecil. Mereka hidup dalam suku-suku yang terpisah satu sama lain. Mereka pihak yang paling lemah melawan ancaman dan penjajahan bangsa luar, utamanya proto-Mayay. Kalau Afrika secara sistematis dimusnahakan oleh bangsa-suku putih atau disebut dunia Barat, maka Melanesia menjadi makanan empuk bangsa-suku proto-Malay. Sangat jelas bangsa kulit putih dan proto-Malay bersama-sama memiliki pola hidup yangtidak manusiawi dan berambisi memusnahkan penduduk pribumi, khususnya yang berkulit hitam dan berambut keriting. Nafsu menjajah dan merampok tanah dan harta milik orang lain telah meracuni hati dan benak mereka. Apapun yang mereka buat, mereka justifikasi dengan berbagai teori dan studi. Saat penduduk pribumi mau membuka mulut berteriak minta penghargaan sebagai sebuah suku-bangsa, mereka selalu dicap sebagai teroris dan separatis, lalu kebanyakan diburu dan dikejar habis-habisan, sampai mereka harus menjadi tamu di tanah sendiri. Kebanyakan mereka menjadi "penjahat yang harus diburu" di negeri sendiri. Mereka harus menderita di hutan dan di gua, seolah-olah merekalah yang bersalah. Padalah mereka hanya manusia, suatu bangsa yang berteriak, "Hargai saya, saya manusia, punya jati diri dan harga diri, yang punya tanah dan kekayaan ini!" Apakah ini kalimat-kalimat seorang racist dan facist? Tidak, ini realitas.

Kalau suku-bangsa Afrika memiliki kebanyakan dataran Afrika, temanya yang disebut Melanesia memiliki hampir seluruh dataran Asia dan Pasifik. Tanahnya itu terbentang dari Thailand, Filipina, Malaysia, New Guinea, Australia, Timor, dan kepulauan Micronesia. Mereka adalah penduduk pribumi, tuan tanah seluas wilayah ini. Mereka berhak penuh atas wilayah ini. Tetapi sial, mereka adalah bangsa yang paling disiksa dan yang paling ditindas oleh para proto-Malays dan bangsa kulit putih.Marilah kita melihat, mengapa suku-bangsa ini sebenarnya sudah ada di "peti mayat." Barangkali ini membangkitkan emosi, tetapi sekali lagi, "Ini kenyataan!"

Pertama: Perbudakan Kasar

Isu yang paling menyakitkan adalah apa yang dikenal "jual beli manusia" atau 'slavery' (perbudakan). Dalam catatan sejarah manusia, perbudakan dilaporkan hanya terjadi di Afrika. Kenyataan bercerita lain, peremehan martabat manusia menjadi setengah manusia ini tidak mengabaikan suku bangsa Melanesia. Bangsa kulit putih itu juga datang menjajah dan merampas baik proto-Malay dan Melanesia.
Beberapa dokumen yang sempat dikumpul membuktikan, banyak suku bangsa Melanesia di Filipina, Papua New Guinea, Merauke, Fiji dan sekitarnya yang dibawa dengan paksa. Para budak itu, kalau dibanding dengan mereka yang dari Afrika, tidak perlu dibeli. Mereka dapat diambil di hutan rimba wilayah Melanesia. Banyak dari mereka disangka dibunuh musuh oleh keluarga mereka. Kalau mereka temukan wanita dan anak-anak, mereka dibunuh, yang dibawa adalah pemuda lelaki yang dapat bekerja dengan kuat. Melanesia adalah budak termurah, diambil tanpa satu senpun, dan dapat dipergunakan seoptimal mungkin untuk keuntungan sebesar-besarnya.Hasil perburuan manusia di wilayah Melanesia telah sangat menguntungkan penjajah kulit putih di Australia, Selandia Baru, dan Belanda. Ekonomi negara-negara Eropa pada waktu itu menjadi sangat maju. Akhirnya lahirnya revolusi industri dan pertanian, yang berakhir dengan melupakan isu perbudakan.

Berakhirnya tindakan perbudakan dikleim oleh kaum gereja sebagai kemenangan kampanye moral mereka, tetapi bukan demikian. Yang terjadi adalah tenaga-tenaga budak tidak diperlukan lagi oleh para pembeli dan pengguna budak. Mesin telah meggantikan mereka. Apa yang mereka cari, yaitu "uang" dari hasil perbudakan. "Uang" yang mereka cari itu, kalau dibandingkan antara hasil dari perbudakan dan hasil dari mesin, maka mereka melihat, hasil dari mesin lebih melimpah daripada hasil perbudakan. Dari sinilah, perbudakan manusia diabaikan. Hukum ekonomi berlaku di sini, "Dari modal dan pembiayaan yang sedikit-dikitnya mendatangkan untung yang sebesar-besarnya" dan hasil perbudakan justru menghabiskan banyak dana. Jelas, alasan pemusnahan perbudakan adalah ekonomis, bukan moral.

Kedua: Perbudakan Ala Manusia Paska Modern Lebih Jahat

Perbudakan ala paska modern lebih berbahaya. Alasan pertama karena mereka yang diperbudak tidak akan pernah sadar akan perbudakan atas harkat dan martabat mereka. Kedua, karena yang memperbudak sendiri tidak akan mengakui bahwa tindakan mereka adalah memperbudak. Ketiga, karena dua alasan ini, hampir sulit untuk memusnahkan perbudakan ala paska modern ini.

Mereka yang diperbudak justru akan merasa diangkat, yaitu diangkat dari ketertinggalan dan keterbelakangan kepada kehidupan yang "lebih baik." Saya masih ingat. Saya pernah disuruh cuci piring, cuci pakaian, bersihkan halaman, dan lain sebagainya. Saya diperintahkan seolah-olah seperti mesin, tanpa memperhatikan kebutuhan pribadi saya. Saya diberi makan di luar dapur. Saya melihat diri saya berarti bagi mereka, tetapi saya diperlakukan sederajat dengan mesin cuci, mesin babat, mesin cangkul dan sebagainya. Saya tidak pernah akui bahwa saya diperbudak.
Malahan saya sangat berterima kasih kepada mereka. Ada banyak pemuda Melanesia di Papua Barat yang dibawa ke Jayapura dari pedalaman serta ada yang dibawa ke Jawa dan Bali. Yang dibawa merasa sedang diperlakukan baik, padahal yang membawa tidak. Ini sebuah dilema moral untuk menjustifikasi, karena barangkali berbeda orang menilainya secara berbeda. Demikian pula, mereka yang memperbudakpun akan merasa marah kalau tulisan ini mucnul ke mata mereka. Mereka akan mengatakan, "Kami menolong anda keluar dari kampung dan keterbelakangan dan kami telah sekolahkan anda untuk menjadi 'manusia', yaitu berguna bagi orang banya."

Tanpa sadar, kedua belah pihak juga adalah budak dari sebuah sistem, sistem yang berorientasi pada "uang." Kedua pihak adalah budak dari mereka yang tinggal dengan dasi, berjalan dengan mobil, dan berbicara dengan mobile phone. Mereka tidak dikenal oleh para budaknya. Ini yang paling sulit. Kalau budak mau memerdekakan diri, mereka tidka tahu merdeka dari tuan siapa, karena tuan itu bukan "seseorang", tetapi "sesuatu", yaitu "uang." Kalau kita bertanya kepada siapapun di dunia ini, "Dapatkan anda hidup tanpa uang?", maka barangkali 99,99 persen akan bilang, "Kami akan mati tanpa uang." Padahal, kalau kita lihat sejarah "uang", itu hanya dimulai sejak sekitar 10 ribu tahun yang lalu dan umur bumi dan kehidupan tanpa uang adalah jutaan tahun. Uang hanya dimulai untuk menolong para pedagang budak.

Tanpa sadar atau tidak, kita semua adalah budak. Kita semua budak dari "sesuatu" yang saya dapat rujuk sebagai "seseorang." Perbudakan manusia secara langsung dialihkan menjadi perbudakan manusia dengan mata uang. Perbudakan purba terlihat dengan mempekerjakan orang di lapangan, di kebun dan di rumah dengan upah makan dan minum. Perbudakan paska modern ditandai dengan mempekerjakan orang di dalam bangunan (kantor, industri, dll), yang walaupun terlihat tidak sama tetapi teori dasarnya jelas merupakan perbudakan. Ingat, berikut ini riwayat perbudakan seorang budak yang disebut 'guru.' Setiap pagi budak harus bangun, siapkan pelajaran, masuk kelas, berdiri di debu kapur, bicara sampai leher kering, siapkan soal ujian, memberi ujian, mengisi formulir gaji, usulkan kenaikan gaji, menyokong atasan, dan lain sebagainya. Kalau tidak, apa yang terjadi? Gaji dipotong, pangkat tidak naik dan bahkan dipecat. Inilah nasib seorang budak, namanya "guru."

Ingatlah, perbudakan tidak pernah berakhir, yang terjadi adalah perubahan bentuk atau wujudnya. Lihat, tilik, tanya kepada dirimu, "Apakah saya juga budak, budak di jaman paska modern ini?"

Ketiga: Penjarahan Milik bangsa Melanesia

Sementara orangnya diperbudak, hasil bumi dan sumbedaya alam suku-bangsa Melanesia dirampas dan dijarah habis-habisan. Contoh di Papua Barat sudah cukup jelas untuk membuktikan ini. Tanah bagi para transmigran dicaplok pemerintah tanpa kompensasi, dan bagi yang melawan diperlakukan tidak manusiawi. Pohon-pohon ditebang tanpa restu masyarakat pribumi. Di Jayapura kita lihat PT Hanurata, PT You Liem Sari, PT Wapoga Timber Group dan lain-lain. Bukan perusahaan saja, para pendatangpun menyerbu hutan-hutan Papua. Dipimpin oleh pendatang bersuku Makasar, di hutan-hutan berbunyi mesin-mesin chain-saw. Mereka membayar dengan rokok, supermi dan beras saja.

Contoh lain adalah penjarahan oleh PT Freeport MacMoRan, yang berbasis di New Orleans, Amerika Serikat. Teman-teman di Afrika dan Papua New Guinea bermasalah dengan rekan penambang raksasa namanya Rio Tinto Zink, perusahaan Anglo-Australia. Peta penambangan semesta menunjukkan bahwa kandungan emas di Papua Barat adalah yang terbesar di dunia di abad ini. Dan ini akan dibawa keluar dengan paksa oleh para perampok. Sejarah perlawanan rekan-rekan kita di Bougenville, PNG dan di Filipina memberikan pelajaran pahit. Mereka diburu habis-habisan. Mereka dibilang teroris dan geirlya liar. Barangkali Kelly Kwalik adalah salah satu dari mereka. Orang tuanya, saudara kandungnya, semua telah hilang di tangan peluru dan senjata buatan barat, yang dibawa pasukan Republik Indonesia.

Teman-teman di Bougenville menyangka pemerintah PNG sebagai musuh mereka, kita di Papua Barat menyangka Indonesia sebagai musuh kita, mereka di Filipina menganggap pemerintah mereka sebagai musuh. Ini semua salah. Ini yang disebut salah kaprah oleh kita orang Melanesia. Untuk Papua Barat, baik Indonesia dan Papua adalah budak-budak di zaman paska modern, yang diperkosa, diadu-domba dan dirampas habis-habisan oleh para penjajah dan pedagang budak. Hal ini tidak hanya terjadi di Papua Barat. Pengalaman teman-teman di Malaysia adalah dengan proyek kelapa sawit dalam skala sangat besar. Tanah mereka dirampas untuk penanaman. Ini nama suku teman-teman anda di Malaysia: Yahai, Batek, Mendrik, Kensio, Kintak, Lano, Semnam. Mereka telah dipojokkan dan hampir dimusnahkan.

Teman-teman kita di Filipina juga kita perlu kenal adalah Aetas, Agta, Mamanua, Ati, Alta, Ata, yang oleh penjajah dipanggil Dumaga, Baluba, yaitu sama dengan kita Papua Barat disebut Irian Jaya. Hutan, yang merupakah rumah mereka telah dihabisi dengan penebangan secara besar-besaran. Mereka dilarang berkeliaran di hutan. Mereka hanya diizinkan membangun rumah di pesisir kali dan laut. Mereka tidak diperkenankan berburu sekalipun. Lembaga-lembaga konservasi telah menguntungkan pemerintah dengan melarang penduduk asli, tetapi tidak sanggup mengusir para pengusaha dengan kantong tebal dan tangan besi.

Keempat: Social-engineering programmes

Istilah social-engineering programme barangkali kita pinjam dari para sosiolog atau antropolog. Kata orang, manusia bisa dicetak semau kita, sama dengan kita cetak pakaian, sepatu, atau bangun rumah dengan warna, ukuran, dan model semau kita. Katanya, manusia, kalau semuanya dijadikan rambut lurus atau proto-Malay dan barat, maka perlu dilakukan sebuah program untuk pencetakan manusia seperti itu. Program social engineering yang terbesar dan terjahat dalam sejarah peradaban manusia dan dalam sejarah engineering manusia adalah apa yang kita kenal, 'transmigrasi'. Program itu terjadi di tanah suku-bangsa Melanesia, lokasi geografinya Papua Barat. Transmigrasi artinya mendrop orang dari suku lain ke suku dan wilayah yang baru, dan lama kelamaan membiarkan mereka membaur dengan masyarakat pribumi dan menguasai mereka. Proyek yang didanai Bank Dunia ini adalah suatu "nightmare" bagi masyarakat Melanesia di Papua Barat, tetapi dikleim Indonesia sebagai "pemerataan penduduk dan pemerataan pembangunan." (Kita dapat berargumen tentang dua sisi pembangunan, tetapi lain waktu.)

Selain tanah dirampas, hak untuk hidup sebagai orang pribumi juga diutak-atik. Orang Papua dipaksakan menanam padi, dan melupakan umbi-umbian. Makanan sagu yang lebih bermutu daripada beras dibiarkan terlantar, dan malahan ditebang habis-habisan. Dengan kata lain, akar semua orang Papua sedang cabut keluar dari tanah Papua Barat. Danorang Papua justru terbuai untuk makan nasi. Kata mereka, "Saya masih rasa lapar kalau tidak makan nasi. Sagu saja tidak cukup." Yah, aneh, tapi nyata.

Jangan pikirkan diri sendiri, kita perlu kenal teman-teman kita, bangsa Melanesia di Thailand, yaitu orang Mani, Yahai, dan Konsiao. Mereka diburu habis-habisan. Mereka ditembak dan dijajah. Anak-anak mereka diwajibkan ke sekolah, dan diindoktrinasi dalam budaya modern. Mereka sama sekali menjadi minoritas di tanah sendiri. Hampir bangsa-bangsa di dunia ini tidak pernah menyangka bahwa penduduk asli Thailand sama dengan Malaysia dan Filipina, yaitu suku-bangsa Melanesia. Mereka telah di-engineered, tetapi masih tersisah puluhan ribu orang. Mereka perlu kita untuk bekerjasama dalam menghadapi musuh yang mau memusnahkan kita.

Jangan pernah menyangka orang Melanesia hanya ada di Pasifik. Tuan tanah negeri dengan penduduk terbesar kedua di dunia, India adalah bangsa Melanesia suku Andamanis, Onge, Sendinel, Kurumba, dan Chenchu. Sekali lagi, mereka telah menjadi orang minoritas di tanah sendiri. Mereka tidak memilik kuasa sedikitpun dalam menjalankan pemerintahan di India. Mereka diperlakukan sama dengan binatang.

Social engineering programme sebenarnya dimulai oleh bangsa kulit putih. Kita dapat melihat apa yang telah terjadi di Afrika secara transparan. Apa yang sedang terjadi di PNG juga jelas.Uni Sovyet secara besar-besaran telah mengkampanyekan program ini, tetapi rupanya ia gagal. Bangsa kulit putih telah berhasil mendiami Benua Afrika, Benua Amerika, Benua Australia.
Mereka berasal dari satu benua, Benua Eropa, tetapi telah menguasai benua lainnya secara merata. Mereka mengkleim Afrika sebagai negara mereka. Mereka mengkleim Australia sebagai negara mereka. Mereka mengkleim Selandia Baru sebagai negara mereka. Mereka menjadi negara raksasa di tanah orang hitam di benua Amerika.

Social engineering programme yang dibuat oleh Inggris begitu sukses di Fiji. Sekitar 60% penduduk Fiji adalah suku-bangsa proto-Malay dari India. Perancis tidak mau kalah dengan program ini. Di Kanaki, New Caledonia, 55% penduduknya adalah bangsa kulit putih, berbahasa Perancis.

Kalau kita masih bisa mengikuti berbagai jenis protes di negeri barat dengan istilah GM atau GMO atau GM Food, maka inilah tindak lanjut dari social-engineering yang telah berhasil dilakukan. Walaupun satunya terhadap manusia dan yang satunya terhadap tumbuhan dan binatang, keduanya berkhas serupa. Mengapa GMO mendapat kritik pedas dari masyarakat modern khususnya di negeri barat? Tentu karena mereka tidak mau makan makanan yang telah diolah secara kimia, dan yang telah dicampur secara biologis.

Kata Akhir
Barangkali semua suku-bangsa pribumi di seluruh dunia akan bertanya, "Kokh, aneh ya. Protes terhadap social engineering sama sekali tidak ada, sedangkan protest atas engineering tumbuhan dan hewan menjadi liputan berbagai media dan menjadi bahan debat politik?" Satu hal yang pasti adalah bahwa program social engineering justru diprakarsai oleh mereka, dan itu sangat menguntungkan mereka. Tentu mereka tidak bisa sebodoh itu melawan kepentingan mereka sendiri. Sedangkan GM food justru merugikan mereka, bukan masyarakat pribumi karena GM crops belum secara meluas diuji-coba di daerah kita. Lihat saja, setelah GM food ditolak di dunia barat, para pengusaha akan melirik ke wilayah masyarakat pribumi, dan suara kita minta tolong sekaligus akan diabaikan, seperti mereka mengabaikan seruan untuk menghentikan program social engineering.

Sebagai suku-bangsa yang di peti mayat, yang sedang menunggu penguburan, tak ada harapan untuk berbuat apa-apa. Mayat tak mungkin bekerja. Tapi jangan hilang harapan. Ingat, orang Melanesia, anda pemilik tanah dan negeri di seluruh Asia dan Pasifik. Anda tuan tanah. Anda pemilik semuanya. Tetapi sayang, Anda begitu lemah. Anda diburu dan dibantai habis-habisan. Dan saat ini Anda sudah ada di peti mayat. Yang dapat merubah nasib Anda adalah sebuah "mujizat."Mujizat itu harus datang dari suku-bangsa Melanesia sendiri.

Masyarakat suku-bangsa Melanesia harus bersatu-padu, bergandeng tangan, seia-sekata dan seirama dalam menegakkan hak dan harga diri yang sudah lama diinjak-injak dan diperkosa.Barangkali tepat, kalau saya mau tutup tulisan ini dengan mengundang kita semua berpikir ke depan untuk menjalin kerjasama, mengusir penjajahan dalam berbagai bentuk.

Profil : KOMUNITAS ANAK JALANAN PAPUA (KAJP)


1.Latar belakang

Sistem kehidupan di Papua sangat memprihatinkan terutama dengan keberadaan anak-anak jalanan, bukan berarti mengamen akan tetapi memiliki kharateristik anak jalanan yang bebeda. Dunia semakin modern dengan adanya perkembangan IPTEK yang menjurus ke segala bidang kehidupan manusia. Semakin banyak pula anak-anak yang disebut sebagai tulang punggung bangsa pewaris kehidupan menjadi terancam dengan modernisasi tersebut. Modernisasi membawa perubahab hidup manusia yang sangat signifikan baik itu perubahan yang dianggap positif maupun negatife.

Dengan adanya modernisasi sesuai perkembangan IPTEK maka munculnya marginalisasi antara masyarakat miskin yang sangat tidak mampu. Fenomena ini mendatangkan banyak anak jadi pahlawan dalam memperjuangkan hidupnya sendiri. Hidup mereka sangat buruk dua kali lipat dari kehidupan orang miskin. Papua adalah salah satu wilayah yang sangat terkenal dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Bumi ini menjadi peringkat pertama angka marginalisasi penduduk asli. Pendidikan, kesehatan dan pembangunan tidak terwujud dengan baik, mengakibatkan generasi muda hilang satu demi satu yang seolah-olah ditelan oleh modernisasi. Perjuangan tidak akan berakhir dengan sebuah goresan air mata sekedar melepas kerinduan sesaat akan tetapi perjuangan akan terwujud ketika diperjuangkan secara benar-benar dengan suara hati. Anak-anak jalanan adalah generasi penerus Papua yang harus mendapat perhatian serius dari siapa saja dalam membangun Papua yang BARU!

Munculnya anak-anak jalanan di Papua di lihat dari Kaum Miskin Kota/pengganguran komunitas kaum miskin/penggangguran yang tinggal diperkotaan begitu kompleksnya. Namun cenderung mengarah pada persoalan yang sama. Ketiadaan infrastruktur dan rendahnya tenaga produktif di Papua menjadi faktor utama tidak berjalannya industrialisasi di Papua. Selanjutnya, dalam konteks kontemporer/sekarang posisi ini turut diisi oleh ketidakmampuan kapitalisme dalam menyerap tenaga kerja akibat dari PHK karena kehancuran industri (de-industrialisasi). Situasi krisis melahirkan semakin banyak jumlah penggangguran, dan mempertajam masalah-masalah sosial yang tidak sanggup diatasi oleh kapitalisme -sampai dengan sekarang hanya Pegawai Negeri, dampak dari pemekaran yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan -. Keadaan tersebut memaksa mereka mencari jalan keluar sendiri untuk bertahan hidup, yang tergantung kepada seberapa sanggup mereka dapat mencapainya. Konflik-konflik yang dihadapi oleh Kaum Miskin Kota adalah konflik yang khas lahir dari perkembangan ekonomi-sosial-politik perkotaan. Mulai dari masalah perumahan, lingkungan dan sanitasi, lapangan pekerjaan, pendidikan dan kesehatan murah, pelacuran, pencurian-perampokan dan sejenisnya, Ditarik pada konteks gerakannya, massa kaum miskin kota yang berlawanan sampai dengan sekarang belum terorganisir (terorganisasikan). Hal yang menjadi catatan penting adalah bahwa kaum miskin kota adalah kelompok sosial yang paling sering dan paling dekat dalam interaksi dengan segala perkembangan politik, sehingga level kesadarannya relatif lebih maju dibandingkan dengan sektor rakyat lainnya (selain mahasiswa dan anak jalanan).

2.Pembentukkan Komunitas Anak Jalanan Papua

Komunitas Anak Jalanan Papua dibentuk sebagai langkah taktis untuk mempersatukan elemen gerakan anak-anak jalanan yang ada di Papua Barat baik anak jalanan murni maupun elemen mahasiswa dalam mengusung isu-isu anak jalanan di Papua. Kemudian belajar dari pengalaman tawuran-tawuran yang sering terjadi, penghilangan anak-anak jalanan, penyiksaan dengan tuduhan yang tidak benar serta lain-lainnya maka pada tanggal 17 Oktober 2005, bertempat di jalan kesehatan Timika Indah, telah diadakan sebuah rapat yang dipimpin langsung oleh bapak Fidell Videlis zonggonau dapat menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain:
A.Perlindungan anak-anak jalanan dalam memperjuangkan kehidupan yang layak
B.Melakukan pembelaan dan menjaga termarginalisasinya anak-anak jalanan
C.Berusaha memberikan pendekata-pendekatan kepada pihak-pihak yang peduli kepada anak jalanan untuk mengadakan pendidikan yang merata bagi anak jalanan
D.Membangun genersai baru menuju Papua baru.

3.Program Kerja KAJP

a. Menyiapkan kader
b. Penguatan basis anak-anak jalanan di setiap kampung
c. Membentuk organ pendukung di basis rakyat

1. Program jangka pendek pembangunan stuktur Sektor-sektor yang di butuhkan anak jalanan
a.Anak-anak Jalanan yang dapat di bagi dalam beberapa Daerah yaitu
1. Provinsi Papua
2. Provinsi Papua Barat

2. Program Jangka Menengah
a. Membangun kesadaran hidup bersama, meletakan nilai–nilai budaya dan agama
b. Membuat landasan hidup anak jalanan Papua melalui :
- Diskusi
- Lokakarya
- Seminar

3. Program jangka Panjang
a. Target persatuan Nasional Anak jalanan Sebagai landasan perlindungan generasi.
b. Membangun Jaringan
- Aliansi dengan komunitas-komunitas anak jalanan lainnya
- Jaringan luar negeri
- Jaringan dalam negeri

4.Bentuk-bentuk Struktur kerjaBentuk-bentuk kerja yang di jalankan oleh komunitas anak jalanan papua adalah dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk yang berciri khas sebagai anak-anak jalanan yang terdiri dari semua wilayah yang telah terbentuk organisasinya yaitu kegiatan dalam bentuk:
-Anak Jalanan sebagai penjual koran di kota-kota
-Sebagai buruh parkir
-Mengadakan konser-konser musik yang disesuaikan
-Mengadakan latihan olahraga-olahraga
-Mempresentasekan drama-drama dalam iven-iven resmi maupun non resmi berupa puisi dll

5.ART dan ARD
ART dan ARD dapat dilihat pada halaman berikutnya yang telah di lampirkan

6.Penutup
Anak-anak jalanan adalah generasi pewaris generasi Papua. Mari kita bersama-sama membangun anak-anak jalanan yang berpacu pada kebenaran untuk membangun diri ke arah yang lebih baik.

Timika Indah, 01 Desember 2005


Ketua
Romario Miage Simon Yatipai

Sekjend
Bonifasius Zonggonau


Mengetahui
Penasehat KAJP
Fidell Vedelis Zonggonau S.sos

Rabu, 04 November 2009

Papua Barat: Hal Memalukan bagi Indonesia yang terus berlanjut


Apakah WPNA untuk Berdamai dengan NKRI seperti Kasus Acheh ataukah untuk Papua Merdeka?

By Damien Kingsbury, Associate Head (Research) of the School of International and Political Studies at Deakin University and author of "The Politics of Indonesia"

Memasuki tahun kesepuluh sejak kejatuhan Presiden otoriter Suharto, Indonesia telah mengalami kemajuan terhadap konsolidasi sistem demokrasi, menghargai aturan hukum dan mengatasi kepatihan berdasarkan perbedaan etnik.

Telah dicatat bahwa setelah beberapa kali diawali dengan berbagai kesalahan, pemilihan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membantu mengkonsolidasikan proses reformasi. Walaupun demikian kemajuannya, Indonesia masih memiliki catatan khusus bagi demokrasi dan HAM, yaitu di Papua Barat.

Memang ada harapan setelah 2001 dimaksudkan sebagai bahwa proses desentralisasi politik dan ekonomi Indonesia akan memberikan tingkat otonomi yang sepatutnya.

Dalam kertas paket "otonomi khusus" diberikan kepada Papua Barat, dan provinsi bermasalah lainya Aceh, dilihat untuk mengatasi banyak masalah yang mengusik.

Walau begitu sebagaimana telah dinyatakan berbagai pengamat, status "otonomi khusus'bagi Papua Barat secara metodik diremehkan sampai ia mendekati tak berarti sama sekali.

Khususnya membagi provinsi itu menjadi tiga provinsi, yang kemudian diratifikasi oleh Pengadilan Konstitus menjadi dua, merusak banyak sekali substansi dari paket otonominya. Sebuah proposal untuk bahkan membentuk provinsi baru menghapus paket "otonomi khusus" yang sebenarnya.

Sementara itu, sejak terjadi penarikan [asukan dari Aceh pascaperdamaian dinegosiasikan, Papua Barat telah menyaksikan pendropan pasukan dan paramiliter polisi yang begitu berarti. Kondisi HAM, walaupun tidak ada pada tingkat terburuk, akibatnya semakin memburuk.

Masalah Papua Barat yang mendasari masalah dengan Jakarta adalah cara wilayah ini dimasukkan ke dalam negara Indonesia tahun 1968. Dalam kasus ini, setidaknya seribu orang yang dipungut dari pemimpin kampung-kampng dipaksa untuk menerima integrasi paksa ke dalam Indonesia tahun 1963. Proses ini disangsikan oleh PBB, tetapi didiskreditkan sejak itu.

Papua Barat tidak hanya dibangun oleh banyak pemimpin Indonesia sebagai pusat kegiatan untuk merampungkan proyek nasionalis mereka, tetapi kekayaan alamnya juga cukup membantu dasar perekonomian Indonesia.

Pada umumnya sebagai lembaga yang mendanai diri sendiri, militer Indonesia, TNI, juga memiliki kepentingan ekonomi utama di Papua Barat, dan untuk kedua alasan inilah dengan tegas menolak pemisahannya.

Walaupun ia sebagaai satu provinsi yang kaya raya, kebanyakan orang Papua adalah orang miskin, berpendidkan sangat renadh, dengan indikator kesehatan dan pembangunan lainnya.

Dan, sebagai orang Melanesia, orang Papua Barat diremehkan oleh orang Melayu Indonesia dengan sikap mulai dari kasihan sampai jijik. Banyak orang Indonesia, khususnya orang dalam militer, memandang orang Papua Barat sebagai setengah manusia, belum sepenuhnya manusia, yang berakibat berbagai pelanggaran HAM.

Menyusul perjanjian perdamaian Aceh yang telah memberikan kemakmuran dalam kedamaian dalam dua tahun belakangan ini, banyak pemimpin politik Papua Barat berharap penyelesaian yang serupa untuk Papua Barat.

Untuk mencapai tujuan ini, tahun lalu, berbagai kelompok politik dari provinisi ini, termasuk Free Papua Organisation (OPM), berkumpul bersama dalam payung West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).

Kata "liberation" dalam WPNCL maksudnya membebaskan orang Papua Barat dari operasi, tidak harus berarti memisahkan diri dari Indonesia.

Akan tetapi, hingga saat ini President Yudhoyono sudah menolak berbicara dengan WPNCL, paling tidak lewat mediasi initernasional, barangkali merasa takut terjadi backlash dari politik Jakarta yang begitu terbai-bagi dan mementingkan diri sendiri.

Jadi menyusul sukses yang relativ sukses, proses yang sama barangkali dapat memberikan cara untuk penyesaian bagi isu separatis yang begitu lama sementara secara signifikan meningkatkan kehidupan dari orang yang telah lama diperlakukan sebagai orang kelas dua.

Dalam perspektiv internasional, penyelesaian seperti ini akan menghilangkan hambatan secara signifikan dalam hubungan Indonesia dengan pihak lain, khususnya dengan Australia dan AS.

Isu Papua Barat masih memiliki potensi merusak hubungan bilateral, khususnya dalam kasus Australia harus menerima kapal berisi banyak orang Papua yang datang melarikan diri ke Australia sebagai pencari suaka. Perjanjian Lombok tahu lalu tidak menghalangi kewajiban kemanusiaan internasional Australia untuk menerima pencari suaka yang memang takut dibunuh, dan dengan demikian isu orang Papua Barat terus muncul di bibir anggota Kongres AS.

Memang merupakan kepentingan Indonesia, dan teman-temannya, untuk melihat masalah Papua Barat untuk menghilang. Tetapi itu tidak dapat terjadi dengan cara menyembunyikannya di bawah karpert, seperti dalam kasus Timor Timur sampai referendum tahun 1999.

Malahan masalah Papua Barat akan hanya menghilang ketika pemerintah Indonesia memutuskan untuks secara serius menangani berbagai isu yang mengganggu wilayah ini.

Masyarakat internasional punya peran dalam memonitor peristiwa-peristiwa di Papua Barat, paling tidak dengan memberikan izin masuk ke sana tanpa larangan. Dan masyarakat internasional barangkali, sama seperti Aceh, punya peranan dalam memediasi dan mndampingi pelaksanaan perjanjian di masa depan.

Dalam hal ini, Indonesia dapat membangun atas dasar keberhasilannya di Aceh, yang menyebabkan pujian masyarakat internasional, bahkan dinominasikan sebagai penerima Nobel Perdamaian. Pertanyaan sesungguhnya adalah apakah Indonesia memang serius dengan reformasi, ataukah pencapaian demokratisasi akan dibiarkan terperosok ke dalam kekangan politik.

Menanti Kedamaian


Kebenaran itu pasti datang, meski engkau sembuyikan, suara keadilan itu pasti aku minta, meski engkau bungkam. Biarpun engkau membungkan kami dengan letupan bedil, Mengapa engkau murka, ketika aku menuntut hak turunan atas tanah papua, bukankah aku tidak pernah merampaskemerdekaanmu atas tanahmu ? Suaraku tidak bisa engkau bungkam…, meski moncong bedilmu menyesakkan mulutku…, meski rantai tankmu menggilas tubuh kurusku.

Siapapun takkan pernah mampu hentikan kebimbanganku, akan kebenaran sejarah tanah papua. Kenapa engkau bimbang, ketika lidah jiwaku bertanya…? Suaraku tidak bisa di penjara…, sebab disanalah bersemayam kemerdekaann. Apabila engkau memaksa kami untuk diam, maka aku akan memberimu pemberontakan.

…karena sejatinya suaraku bukan perampok, yang ingin menjarah hartamu. Ia hanya ingin bertanya, mengapa engkau mengokang senjata ketika suara-suara kami meminta keadilan bagi tanah papua.

Selasa, 03 November 2009

KASUS PENEMBAKAN PT.FREEPORT JANGAN KAMBINGHITAMKAN TPN-OPM


Kasus penembakan di kawasan PT Freeport adalah konspirasi untuk menjebloskan warga asli Papua yang ada di kota Timika terutam para pendulang yang tersebar sepanjang sungai Ajikwa dari portside sampai dengan mile 74 ridge camp ke dalam penjara.

Ada apa ini semua, apakah ini sebuah konspirasi besar untuk menjebloskan semakin banyak orang Papua ke penjara dengan tuduhan sebagai dalang penembakan di Freeport," kasus penembakan sampai sekarang masih terus berlangsung di areal pertambangan emas dan tembaga itu meskipun orang-orang yang diduga sebagai pelaku sudah ditangkap. Sejauh mana keterlibatan mereka yang di tangkap sampai sekarang masih simpang siur.
Petinggi TNI dan Polri yang selalu mengkambinghitamkan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) dalam berbagai kasus di Papua, tanpa disertai bukti dan fakta hukum yang jelas.
Ternyata kasus penembakan yang terjadi di area PT.Freeport sangat sulit terungkap. Mengapa tidak bias ungkap masalah ini dengan baik, Di pihak lain densus 88 telah menangkap masyarakat Papua yang tidak tahu apa-apa dan di mana hasil pemeriksaan mereka? Mereka adalah rakyat biasa yang baru dating dari kampong mereka untuk berlibur ke Timika dan mereka juga tidak tahu bahasa Indonesia yang baik, Sehingga ini harus di perhatikan dengan baik.Semua kasus yang terjadi di Freeport selama ini selalu dikait-kaitkan dengan OPM. Sekarang sudah beredar sebuah Video klip yang secara sengaja di buat oleh para wartawan serta para TNI dan Polisi untuk mengalikan kasus ini ke Kelly Kwalik sebagai pimpinan TPN-OPM wilayah Timika.

Karena itu, Kami meminta Lembaga-lembaga seperti Lembaga Gereja, LPMAK, LEMASKO, LEMASA, YAHAMAK dan LSM-LSM yang ada di Papua untuk membentuk suatu TIM yang akan turun ambil bagian dalam penyelesaian kasus penembakan yang terjadi, agar supaya dunia mengetahui siapa yang menjadi dalang dalam kasus ini.

Sabtu, 31 Oktober 2009

Kebebasan Ekspresi Warga Negara di Hadang dengan Stigma Separatisme


Sejak International Parlementary for West Papua (IPWP) di luncurkan di London Inggris 15-17 Oktober 2008, rakyat Papua meresponnya dengan aksi yang dilakukan secara damai di kantor DPRD Papua, pasca aksi tersebut pemerintah Indonesia melalui kaki tangannya Polda Papua menyikapinya dengan penangkapan aktivis HAM dan Demokrasi Papua dengan tuduhan melakukan provokasi terhadap masyarakat dan di anggap melakukan tindakan makar.

Aksi ini langsung disikapi dengan penangkapan saudara Buchktar Tabuni dan Sebby Sambon serta beberapa kawan-kawan aktivis lainnya yang tergabung dalam aksi tersebut, sejak terjadi penangkapan para aktivis, Fictor F Yeimo di jadikan sebagai sasaran atau target pencarian orang (TPO) atau daftar pencarian orang (DPO). Aksi selanjutnya dilakukan pada bulan maret 2009, Rakyat Papua menolak pengiriman militer TNI-POLRI aksi ini di sambut dengan brikade polisi untuk menggagalkan aksi tersebut.

Selanjutnya aksi terus di galang oleh Rakyat Papua guna menolak agenda Pemilihan Presiden di Papua, dalam agenda Pemilu 2009, rakyat Papua menolak di adakan pemilihan Presiden di Papua, Sikap penolakan Rakyat Papua yang ditunjukkan ini terkait dengan pengalaman rakyat Papua yang telah banyak menjadi korban para elit politik di birokrasi pemerintahan dengan janji-janji palsu melalui kampanye. Aksi boikot Pemilihan Presiden ini dilakukan secara damai yang berbarengan dengan penyambutan peluncuran Internasional Lowyer for West Papua (ILWP) di Papua pada bulan maret 2009.

Menyangkut dari beberapa rentetan aksi tersebut yang dilakukan oleh rakyat Papua, Polda Papua Jendral FX Bagus Ekodanto menanggapinya dengan membentuk Team Khusus mirip dengan Densus 88 untuk menangkap para aktivis HAM dan para pejuang Demokrasi di Papua, beberapa aktivis yang di jadikan sebagai tersangka langsung di masukan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), Victor F Yeimo di jadikan sebagai tersangka utama dengan Tuduhan penghasutan dan makar.

Kronologis Penangkapan

Pada hari Selasa 20 Oktober 2009, Pukul 01.15 WPB di Hotel Masartika, Victor F Yeimo dan kawan-kawan aktivis Pro-Demokrasi sedang melangsungkan pertemuan tertutup, sedang dalam pertemuan, utusan Team Khusus langsung melakukan penggledaan dan melakukan penangkapan tanpa menunjukan surat penangkapan terhadap Victor F Yeimo dan empat orang kawan lainnya dan langsung dinaikkan di atas mobil patroli dan dilarikan langsung ke Polsek Sentani dan selanjutnya dibawa ke Mabes Polda Papua untuk di Interogasikan. Kondisi terakhir Victor F Yeimo masih dalam penahan sementara Polda Papua sambil menunggu Team Advokasi datang mendampinginya.

Polda Papua telah menetapkan Vicktor Yeimo sebagai DPO terkait dugaan keterlibatan lelaki kelahiran Enarotali, 25 Mei 1983 lalu dalam kasus tindak pidana makar dan penghasutan. Kemudian sekarang sudah ditangkap apa yang menjadi incarannya. Victor F Yeimo dan teman-temannya serta rakyat Papua mengekspresikan apa yang mereka pendapat mereka terhadap kejanggalan-kejanggalan pemerintah dalam menangani konflik berkepanjangan yang menelan banyak korban, sehingga harus dilihat mana letak demokrasi untuk bebas mengekspresikan hak-hak mereka yang ditindas. Hal –hal ini jangan dipolitisir, negara yang berdemokrasi harus menghargai pilar-pilar demokrasi dan harus mengedepankan serta menegakkan demokrasi itu secara benar-benar di atas tanah Papua. Victor Yeimo dan kawan-kawannya beserta rakyat Papua berkampanye boikot pemilihan presiden dan pada saat yang bersamaan Megawati Soekarno Putri mengancam berkampanye bahwa memboikot pemilihan Presiden.
Yang menjadi pertanyaan mengapa Megawati tidak ditangakap? Seakan-akan rakyat Papua ini memang binatang, Mengapa semua kebebasan ekspresi rakyat Papua selalu dicap sebagai makar dan separatis, rakyat Papua bukan makar dan separatis mereka adalah warga negara yang sopan dalam budaya demokrasi. Kami menegaskan bahwa segala masalah yang terjadi dipapua harus ditangani secara baik dan harus jelih membaca dengan kacamata kebenaran dan keadilan.
Saudara Buchktar Tabuni, Sebby Sambon dan Victor F yeimo adalah benar-benar korban tidak ditegakkanya prinsip-prinsip Demokrasi di Tanah Papua, sehingga kami meminta Polda Papua untuk membebaskan mereka dari jeratan hukum.

Kampanye boikot pemilu alias golongan putih (Golput) merupakan hak asasi manusia sebagai mana salah satu pilar demokrasi. Kampanye golput merupakan salah satu bentuk ekspresi rakyat papua karena kekecewaannya terhadap pemerintah yang tidak pro terhadap perbaikan nasib warganya. Tindakan apatisme rakyat mencapai puncak setelah capres dan cawapres yang muncul adalah wajah-wajah lama yang telah terbukti tidak pekah terhadap nasib warganya sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak konsistennya pemerintah dalam implementasikan UU Otsus bagi Papua. Otsus yang telah berjalan 8 tahun belum membawa perbaikan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Hal ini dapat dilihat pada belum rampungnya perdasi dan perdasus sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan. Wajar saja tingkat kemiskinan di Papua mencapai 70 persen akibat rendahnya akses terhadap berbagai sumber daya yang ada. Belum lagi rakyat papua belum secara memadai mempengaruhi secara strategis kebijakan-kebijakan yang yang ada.

Penangkapan Aktivis Viktor F Yeimo merupakan kegagalan Negara dalam memenuhi dan menegakkan demokrasi di Republik ini. Wajah Negara kembali tercoreng dikancah global karena tidak mampu memenuhi hak-hak warganya. Negara telah gagal dalam menunaikan kewajibannya untuk menghormati, memenuhi dan melindungi warganya dalam memenuhi haknya baik hak ekonomi, social, budaya maupun politik.

Dalam kasus penangkapan aktivis Papua ini banyak menimbulkan kejanggalan antara lain: Pertama: Mengapa pihak aparat kepolisian menangkapnya saat momentum pelantikan Menteri Kabinet Indonesia bersatu (KIB) jilid II ? Ataukah aparat kepolisian telah lama mengetahui keberadaan Viktor sehingga tunggu moment yang tepat untuk menangkapnya ? mengapa operasi penyakit masyarakat (Pekat) yang dilakukan pihak kepolisian tidak dengan terencana ? ada apa dengan segelintir orang yang menamakan diri aktivis pro demokrasi melakukan pertemuan khusus dengan viktor yeimo? Benarkah dalam hotel itu viktor berduaan dengan seorang wanita ? Kedua : Mengapa dalam insiden ini pihak kepolisian tidak menunjukkan surat penangkapan dan penahanan ? karena ia ditangkap dalam insiden operasi pekat apakah sanksinya juga akan diberikan berupa teguran atau pembinan moral.

Selasa, 06 Oktober 2009

Arnold Clemens Ap Pemersatu Orang Papua


Pada 26 April 1984, Arnold Ap ditembak oleh kopassus dan meninggal di dekat Jayapura. Beberapa hari sebelum peristiwa itu, ia berada di penjara Jayapura, tempat ia di tahan sejak 30 November 1983. Kemudian diceritakan, bahwa Arnold, Eddie Mofu yang adalah temannya dan beberapa teman lainnya diberi tahu bahwa mereka bisa keluar. Tapi, ketika mereka keluar, mereka dihabisi. Tampaknya mereka di tembak ketika mereka mencoba lari. Kemudia diketahui pembunuhan ini di lakukan atas perintah Jakarta.

Arnold Ap adalah seorang antropolog dan berhak mendapat penghargaan atas usahanya untuk melestarikan budaya Papua. Disebuah museum kecil di Universitas Cendrawasih, dimana ia menjadi kurator setelah menyelesaikan pendidikannya, ia mengumpulkan benda-benda yang menjadi dokumentasi budaya Papua. Pada 15 Agustus 1979, ia dan beberapa temannya mendirikan kelompok musik, tarian dan teater Mambesak, yang dengan segera menjadi terkenal diseluruh Papua dan daerah lainnya. Arnold Ap berasal dari daerah Biak Numfor, tapi ia bermaksud menyebarkan pengetahuan unsur budaya dari seluruh bagian Papua. Ia mengumpulkan lagu-lagu dari berbagai suku di Papua, Menyebarkan pengetahuan ini lewat Mambesak, dan bersama kelompok seni ini ia juga memproduksi kaset musik yang segera dipakai di selurum Negeri.Distasion radio setempat, setiap minggunya ia berkesempatan membawakan lagu dari berbagai daerah di Papua. Setiap sabtu, para pemuda, pelajar dan anak-anak sekolah berkumpul didepan museum. Arnold Ap mengajari mereka lagu-lagu dan tarian, dan dengan demikian, mengajar mereka ekspresi baru tentang budaya mereka sendiri. Dengan cara ini, ia mampu menciptakan kesadaran yang luas akan identitas Papua, menjembatani perbedaan diantara berbagai suku.

Jumat, 25 September 2009

RAKYAT PAPUA BERARGUMEN

Teriakkan "Freedom" itu tidak pernah berhenti dari Tanah ini.
----------------------------------------------------------------------------------------

Orang-orang Indonesia, Sekarang Rakyat Papua tidak berbicara untuk diri mereka sendiri, seperti dugaan Negara Indonesia, akan tetapi untuk kepentingan kita bersama, agar kita semua tidak berdosa terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa karena akan menghukum kita, karena kita ini anugrah-Nya kepada sesama manusia. Sebab siapa yang membunuh manusia, pasti tidak mudah untuk mencari penggantinya.

Kalau Rakyat Papua boleh menggunakan ungkapan yang menggelihkan, Rakyat Papua ini serangga pengganggu, dianugrahkan oleh alam Papua dan penciptanya kepada orang-orang di Jakarta; dan Negara itu bagaikan seekor harimau yang besar dan bagus, yang karena buasnya dan berpura-pura lamban gerakannyayang dirangsang untuk memangsa.
Rakyat Papualah serangga pengganggu yang dicampakkan kepada negara oleh Ketidakadilan, Pelanggaran Hak Asasi Manusia, serta ketidakbenaran sejarah Papua alias manipulasi yang terjadi dari hari demi hari, dan sepanjang hari dan di mana-mana Rakyat Papua selalu mengganggu Negara Indonesia. Tidak mudah Negara akan menemukan orang-orang seperti Rakyat Papua, dan oleh karena itu rakyat Papua memberitahukan kepada Negara untuk tidak membunuh Tanah Papua dan segala isinya terutama Rakyat Papua yang pada dasarnya adalah ciptaan Tuhan.

Dan inilah yang benar, orang-orang Papua, yang sungguh-sungguh benar. Tidak ada yang mereka menyembunyikan, tidak ada yang mereka kurangi dalam penyampaian aspirasi Merdeka yang mereka suarakan. Akan tetapi Rakyat Papua tahu bahwa keterusterangan kata-kata atau suara-suara mereka menyebabkan dibenci oleh Negara Indonesia dan apa kebencian negara itu, kalau bukan bukti bahwa apa yang Rakyat Papua katakan atau bersuara dari duluh sampai sekarang itu benar?

Rakyat Papua ingin Negara ketahui bahwa Negara Indonesia Membunuh, Menyiksa, Membenci, Mencuri, Memperkosa, Dilakukan tidak adil, Dimanipulasi sejarah seperti terhadap Rakyat Papua ini, Negara Indonesia akan lebih banyak merugi sendiri dari pada Rakyat Papua. Sebab kejahatan seperti yang di lakukan Indonesia, kejahatan mencabut nyawa orang lain secara tidak adil, adalah sesuatu yang lebih merugikan bagi dirinya sendiri. Sama pula dengan kejahatan-kejahatan lainnya yang selama ini terjadi.

Barang siap Membunuh, Meperkosa, Membenci, Mencuri kekayaan alam, Menyiksa, Menyembunyikan kebenaran, Memanfaatkan kepentingan dirinya atsa nama orang dan tanah Papua, Ia telah menginjak daerahku akan ku antar ke alam dewa maut. Indonesia talah menginjak daerahku "tegas Alam dan Tanah Papua".



Mario Miage
rmyatipai@ymail.com
----------------------

Rabu, 16 September 2009

MANIFESTO (October 19th, 1961)


We the undersigned, residents of the western part of Papua, representing variuos groups, tribes and religious denominations, knowing that we are united as a people and a nation, DO HEREBY DECLARE to all our fellow countryman that we,

I. in pursuance of Article 73 a and b of the Charter of the United Nations;

II. on the strenght of the declaration of principle regarding the independence of non-self-gvoerning territories and peoples, as laid down in the resolution No. 1514 (XV) adopted by the General Assembly of the United Nations at its Fiftheenth Meeting from September 20 to December 20 1960;

III. by virtue of the inviolable right we, inhabitants of the western part of Papua, have to our native country;

IV. in accordance with the ardent desire and the yearning of our people for our own independence,

through the National Committee and our parliament, the New Guinea Council, insist with the Government of Netherlands New Guinea and the Netherlands Government that as of November 1, 1961,

a. our flag be hoisted beside the Netherlands flag;
b. our national anthem (''Hai Tanahku Papua") be sung and played in addition to the Netherlands national anthem;
c. our country bear the name of Papua Barat (West Papua), and
d. our people be called: the Papuan people.

In view of the foregoing, we, Papuans, demand our own position, equal to that of the free nations and in the ranks of these nations we, Papuans, wish to live in peace and to contribute to the maintenance of world peace.

Through this manifesto we summon all inhabitants who love this country and its people to rally round this manifesto and to uphold it, as it is the sole basis for the freedom fo the Papuan people.


Hollandia [Jayapura now], October 19th, 1961.

W. Inury
D. Sarwom
F. Poana
A. Onim
F.J.S. Rumainum
E. Itaar
M. Suwae
J.J. Roembiak
J.Jaab
M. Onggé
P.H. Jochu
Iz. Menufandu
M. Wai
N. JOuwe
H. Mori Muzendi
P. Koejab
W. Zonggonao
F. Jufuway
A.J.A. Rumtoboy
E. Noembery
J.S. Dekeniap
S.L. Rumadas
T.S. Akwan
H.Jomungga
M.Buotabui
F.Torey
M.W. Kaisiëpo
B. Gebze
Th.Mezet
J.E. Bonay
N. Tanggahma
H.I. Bauw
Sp.Malibela
T.Dansidan
W. Giay
O. Nemnay
A. Sefa
J. Manory
L. Ajamiseba
M. Rumainum

The Abduction And Assassination Of Theys Hiyo Eluay Was Premeditated And Politically Motivated


ELSHAM
Institute for Human Rights Study and Advocacy, West Papua

PRELIMINARY REPORT

December 13, 2001 Jayapura, Indonesia

Introduction

The abduction and assassination of Theys Hiyo Eluay (aged 64), chairman of Papuan Council Presidium, is a consequence of the culture of militarism and impunity since West Papua was annexed by Indonesia.[1] The violence started since the time when Sukarno, Indonesia's President, proclaimed TRIKORA (Triple Command of the People) on 19 December 1961 in Yogyakarta. The three points of TRIKORA were: (1) Disband the "puppet state" of West Irian created by the Dutch;[2] (2) mass mobilisation, (3) raise the red-and-white flag (the Indonesian flag) in West Irian ". At the time, many West Papuan civilians were intimidated and killed. Following integration with Indonesia, the Jakarta government began to adopt the militaristic approach by conducting military operations in a number of areas in Papua.[3] About 100,000 (one hundred thousand) West Papuans have been killed during 38 years of integration with Indonesia.[4]

The process of destruction escalated particularly rapidly when the West Papuan people demanded independence from Indonesia in 1998 after the downfall of Suharto. Scores of peaceful rallies demanding independence staged by Papuans were dealt with by violence such as the Bloody Biak Incident (6 July 1998); Sorong (5 July 1999); Merauke (16 February 2000); Nabire (28 February-March 2000); Sorong (27 July 2000 and 22 August 2000); Wamena (6 October 2000). These aspirations for independence continued to erupt and were manifested very publicly and officially in the presence of President B.J. Habibie at the presidential palace on 26 February 1999 when representatives of the Papuan people in the Team of 100 met President B J Habibie. The demand came as such a shock that the president responded by asking the Team to think more deeply about they were asking for.[5]

Simultaneously, secret operations were stepped up to silence Papuan activists in the lead-up to the Second Papuan People's Congress 2000 which was held from 29 May - 4 June 2000.[6] The week prior to the Second Papuan People's Congress 2000, Vice-President Megawati made a sudden visit to Papua. She was met by demonstrations by pro independence activists throughout Papua. Megawati came away feeling "strongly impressed" by the desire for independence of the Papuan people in the various places she visited in Papua which was reflected in the report of Megawati's visit that was sent to the Muspida (joint governing board). Megawati's assessment became the basis for the report of the caretaker governor of Papua, Musiran Darmosuwito (former deputy governor of East Timor) sent by radiogram on 2 June 2000 to DEPDAGRI (Ministry of the Interior). This was further crystallized in the aspirations for an Independent Papua as expressed after the Second Papuan Congress 2000.

Evidence for this is contained in a leaked 'top secret' document issued by Directorate Generals of KESBANG and LINMAS of DEPDAGRI in an official document No. 578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000, dated 9 June 2000. The leaked document contained the concept for an "Operational Plan for Territorial Conditioning and the Establishment of a Communications Network In Dealing with the Direction of Political Developments in Irian Jaya (Papua) in favour of independence and demanding separation from Indonesia."

The targets of the operation included, (1) the conditioning of regencies and towns all over Papua down to the remote areas; (2) development of a communications network making use of influential personalities and supportive organizations to carry out activities like issuing statements, public assemblies, etc; (3) international diplomacy to win the support of the UN and other countries for Indonesian sovereignty over Papua. Operational methods to be used were: (1) clandestine (infiltration), (2) provocation and arrest of Papuan independence activists, (3) development activities; (4) a Papuanization program and preventing the internationalization of the Papuan case. The operation would be conducted overtly by means of attacks on mass demonstrations and covertly (clandestine). The operation was supported by the MPR (People's Consultative Assembly) at its annual session in August 2000 when it adopted a decision to the effect that the territory of Papua required serious attention.

The top-secret document also included the name of Theys Eluay in the group of traditional leaders and fighters. On the same level were Tom Beanal (traditional), Yusuf Tanawani (who has since died), Rev. Herman Awom and Dr. Karel Phil Erari (church leaders), Dr. Benny Giay and Agus Alua (academics), Drs. Jakobus Pervidya Sallosa (politician and now governor of Papua), Simon P. Morin (politician), John Rumbiak and Johanis Bonay (ELSHAM-Papua), Gerson Abrauw and Diaz Giwijangge (students).

Reuters News Agency (dated 30 November 2000), received confirmation from DEPDAGRI that a meeting had been held to deal with the unrest which Jakarta called separatism in Papua and had been attended by 13 government bodies. The Papuan (Irian Jaya) police then translated that Operational Plan into its own Staff Analysis on Police Actions in Irian Jaya (Papua) to deal with Papuan Separatism in order to uphold the supremacy of the law, November 2000.

This analysis subsequently resulted in a planned operation, called "Operasi Sadar Matoa 2000", lasting for 90 days. The targets of this operation were Papuan independence activists and the OPM and their sympathizers. This "Operasi Tuntas Matoa" illustrated the readiness and a systematic plan by the Papua Police to cope with what they called the separatist movement.[7] This Police policy was an integral part of a comprehensive state policy. These two documents clearly show that this was systematic, and involved organized measures to be conducted repeatedly.[8]

Profile of Theys Hiyo Eluay and the events leading up to 10 November 2001 incident.

Another element was to take extraordinary action directed against groups or certain civilians. Specifically with regard to the case of Theys Eluay, it is very clear that his abduction and death was well thought out and carefully planned. Theys, a civilian and an influential traditional leader, was the target because of his stance against Jakarta. He was a controversial figure with two faces; he sometimes appeared to be pro-government and sometimes pro-Papuan independence. To the Indonesian government, Theys used 'cultural language' whilst to the Papuan masses he spoke the language of politics. He frequently emphasized the need for a struggle by peaceful means, with politeness and love.

In October 1999, speaking as "Ondofolo Besar" (Great Tribal Leader), of Sereh, Sentani, and chairman of Lembaga Musyawarah Adat (Traditional Consultative Assembly), he appointed Yorris Raweyai [9] as the chairman of the Jakarta branch of the Papua Traditional Consultative Assembly. In August 1998, when independence sentiments were sweeping through Papua, Theys together with Yorris Raweyai (chairman of Pemuda Pancasila)[10] proclaimed the concept of 'One Nation, Two Systems" for the future of the people of Papua at the building of the provincial Regional Development Bank in Jayapura. Theys was also involved in the 1969 Act of Free Choice, and during the New Order regime he served three terms as a member of Provincial Legislative Assembly in the Golkar group. But in 1996, he was not re-nominated for election and thereafter he spoke out forcefully again about independence.

The climax came when, along with the Papuan people, he issued a decree and unfurled the West Papuan flag (Morning Star Flag) on 1 December 1999 and 1 May 2000. He also signed a political communiqué during the Papuan Council Conference in Jayapura on 23-24 February 2000. On 29 May-4 June 2000, he convened the Second Papuan People's Congress in Jayapura. An estimated 3,000 people from all over Papua attended this historic meeting.

When the Special Autonomy Bill was ratified by Parliament in Jakarta on 20 October 2001, Theys and other executive members of the Papuan Presidium Council were all present. They would firmly reject the autonomy law by peaceful means. Theys repeatedly told journalists that special autonomy was none of his affair, that he could not accept the idea of autonomy, and could only think about independence. We are the ones, he said, who owned the wealth and the government should ask us about how to use the natural resources. It would be divided: 80 % for us and 20% for the central government. It is for us, he said, to decide how to share it out. Secondly, the Papuan People's Congress gave no mandate about special autonomy. So, what we had to do was to get our independence back.

In October, Theys told TEMPO Magazine that the Papuan Presidium Council was the representative of the whole Papuan people, the little folk and the leaders, the young and old, the men and the women, those at home or abroad, the living and the dead, they all want independence for Papua. Only a handful of people think otherwise, people like Freddy Numberi [11] who only think of themselves. They deceive themselves, the people of West Papua, and God.[12]

While the political elite in Jakarta were busying themselves with legislation about special autonomy, here in West Papua in October and November 2001, joint operations by TNI-POLRI patrols ("Patroli Garnizun") were being conducted at night in Jayapura and the surrounding districts to maintain security (Kamtibmas). It was just like a 'night curfew'. According to ELSHAM monitoring, the operations were conducted by personnel from the Army, the Navy, and Kopassus. In Sentani town where Theys lived, Infantry Battalion 751, which has its headquarters in Sentani, Polomo, was involved in these patrols. These operations terrified the local inhabitants to such an extent that they were afraid to go out at night. Young people who were found outside at night were arrested and taken away in military trucks to nearby police/security posts. It is indeed an irony that the late Theys Hiyo Eluay, chairman of Papuan Council Presidium, was abducted at 21.45 on 10 November 2001 in busy Jayapura and then murdered.

In the course of its investigations, ELSHAM Papua was told by DW, a TW courier who has worked with Kopassus, that on 29 October 2001 there was a meeting with Kopassus, which was held in the office of the company CV Megapura Arso I, on Jalan Trans Irian. One item on the agenda was a plan to have a night curfew in Koya Timur, Koya Tengah and Koya Barat.[13] The reason was that Kopassus was looking for a member of the TPN (the National Papuan Army, OPM) who had caused trouble in Koya. The meeting took a decision that TW would inform the local inhabitants not to leave their homes between the hours of 21.00 and 06.00. Night curfew patrols were conducted for three weeks by the local police and koramil (local military command) and satgas units of Kodam I Bukit Barisan/126 located in Arso, Muara Tami. This announcement would only be withdrawn if security conditions in the area permitted. Because of the operations of these joint patrols, the area where the crime was committed was isolated.

One week before the abduction and assassination of Theys H. Eluay, the 'Dracula' issue emerged. This issue occurred among the owners of food stalls in the region of Kota Raja, which is about 1 kilometer from the place where the abduction occurred and 29 kilometers from the place where the body of Theys was found, in Koya Tengah. For three days running, on 8, 9 and 10 November 2001, Cenderawasih Pos published reports about Dracula. These reports caused panic among many local inhabitants, especially among the families of the stall owners. 'Dracula' had the effect of terrorizing people in Jayapura and Abepura into not going out after dark.[14]

On the morning of Saturday, 10 November 2001, at about 9am, two people visited a kampung near the place where the body of Theys Eluay was found. They were traveling in a Starwagon vehicle in the direction Abepudar-Koya Barat, 5 kilometers. The two men told the local inhabitants that they were intelligence agents from the Irian Jaya Police Force. When ELSHAM Papua checked this report, the local people said that one of these two 'intel' agents was from Ambon and the other was from Java. They had come to meet the commander of the Papua Satgas (AR)[15] and also wanted to find out about the presence of Satgas Papua in the area. They said they needed this information in connection with (1) activities of Satgas Papua in the period leading up to 1 December 2001, (2) the number of members of Satgas Papua in Skouw, and (3) the number of heads of families there. They also asked about the local pro-independence leaders in Skouw, and wanted to know whether these people were still active or not.

On the evening of 10 November 2001, at 8.30pm, a local inhabitant (IN) from Skouw kampung wanted to go hunting in the area where the body of Theys was later found but he was stopped by three members of Kopassus (Agus, Yadi and Sanusy) who were riding on a Super Kijang. The commander of the Transat Kopassus post, riding on a Vespa, was also there and another member was in a Trael motor. As usual, before going out to hunt, (IN) reported to the Kopassus post in Skow Sae (Transat), in the home of a retired TNI soldier which is inhabited by transmigrants from outside Papua and local transmigrants. Because of what happened, (IN) did not going hunting but returned home and arrived back in Skouw kampung at about 11.30pm. (IN) told ELSHAM Papua that the situation on that evening was very unusual because these people were very busy. The guard post had been abandoned and all the Kopassus members were mobilized into a state of readiness.

ELSHAM Papua investigations in the location where the body of Theys was found pointed to some very strange things. It is clear that the 'abductors' were free to move around on that evening (see the map of the abduction). This sketch shows that from the base of Satgas Tribuana Kopassus, Hamadi, where the abduction took place, to the place where the crime was committed in Koya Tengah, the abductors were clearly freely able to drive passed thirteen security posts or military and police installations in the environs of Jayapura.[16]

Statements by witnesses

On Saturday, 10 November 2001, at 10.30am, Infantry Colonel Hartono, commander of the Tribuana Kopassus base came personally to fetch the late Theys Eluay, chairman of the Papuan Presidium Council, from his home, bringing him a Christmas present, a white, long-sleeved shirt. The late Theys Eluay left home at 11am and went to Matoa Hotel, where he attended a meeting of the Papuan Presidium Council. At around 6pm, the victim phoned his wife at home in Sentani to say that he was going straight to Hamadi to attend a reception at the Tribuana Kopassus base. At about 6.30, Theys and his driver, Aristoteles Masoka (23) arrived at the reception which was being held to mark Indonesian Heroes' Day, 10 November, at the Tribuana Kopassus base in Hamadi, South Jayapura sub-district. Although the reception was still in progress, the late Theys took his leave at 9.30pm to return home to Sentani, together with his driver, Aristoteles Masoka, known as Aris, in his car with number-plate B 8997 TO. Not long afterwards, at 10.10pm, the driver made a call by hand-phone to Yaneka Ohee (40), the wife of the late Theys Hiyo Eluay to say: 'We have been attacked and taken hostage'. His wife asked him who had taken them hostage but the driver only replied: 'Mama, please inform the ministers, our friends in the congregation. Please pray for us because the two of us are in great danger. Long live Our Lord Papua!' And with these words, the voice on the phone was cut off.

Near the housing complex of the regional government (PEMDA) I Entrop-Jayapura, a witness said he saw the abduction of Theys Eluay. According to this witness, at around 9.45pm, they saw a dark-colored Kijang van collide into another Kijang which was also dark-colored (this later proved to be the car of Theys Eluay) at a distance of 2 meters, they clearly saw two heavily-built non-Papuans with short straight hair, with light skins and dressed in black, alight from the vehicle that had collided into the other one. They hit the driver and tried to pull him through the door. But Theys' driver was holding onto the steering wheel very tightly. One of the two men pushed the driver into the vehicle, grabbed hold of the steering wheel and drove off. The witnesses saw part of the driver's leg hanging out of the car that was being driven fast to Abepura.

At 9.50 another witness who took the driver Aristoteles Masoka (23) said that about 50 meters from the place where the abduction took place, as they were traveling in a Carry vehicle (taxi/public transport), they saw a person hanging on to a dark-colored Kijang vehicle which was going in the direction of Jayapura to Abepura. They were held up because of what had happened. Seeing what was happening, the driver of the Carry vehicle stopped his car and watched what was going on. After the Kijang vehicle from which a person was hanging out passed, they saw it stop about 50 meters on, and suddenly the person who was hanging out, fell from the vehicle and ran towards them and asked them (the witnesses) for help. When he got close, they realized that he was the driver of Theys Eluay. They took the man into their vehicle and drove in the direction of Jayapura. As they were going along, Theys's driver shouted and asked them to take him to the Tribuana headquarters of Kopassus in Hanurata-Hamadi. They did so at his request and drove him to the Tribuana Kopassus base. They dropped him five meters from the entrance to the Tribuana base and then they continued their journey to Jayapura.

One witness who had been invited as a guest to the Heroes' Day reception, which was attended by Theys Eluay, told ELSHAM that at about 10.10 pm, which is about thirty minutes after Theys left and went home, he was asked to tidy up the hall. Then, he saw someone come in. The person was grabbed by several Kopassus embers at the door and taken to the soldiers' room. As this was happening, the person who had been grabbed was crying and saying: 'O dear, if anything happens, I will be responsible to ibu. The car has been lost. What's on earth has happened!' As this was going on, a Kopassus member told the witness to leave immediately. (The person who had been grabbed was Aristoteles, the driver of Theys.)

On Sunday, 11 November, at 9am, the family (of Theys) received a phone call from Arthur Tombun, former police chief of Sentani to say that Theys's car had been found at Km 9, Koya Village, Abepura. At 2.35pm, an investigation team composed of ELSHAM Papua, the sub-district police, the Papuan Presidium Council, the Jayapura Legal Aid Institute and several journalists went to the place of the crime. When they arrived, they found Theys' body in the vehicle, in an upright, sitting position with the legs facing forward. There was a damp, red stain on the stomach. The tongue was hanging out. While the team was carrying out a detailed investigation of the decaying corpse, some members of the security forces rushed up and removed it to an ambulance to be taken to the Dok II Jayapura General Hospital. This group was led by Drs. Daud Sihombing, Jayapura Police chief. Aristoteles Masoka, Theys' personal driver, had also been abducted but, at the time of the writing of this report, nothing was known about his whereabouts.

At 4.15pm in Sentani, angry crowds gathered at the residence of Theys after hearing that Theys had met with an unnatural death. These angry crowds burnt down two shops, two banks, a chemist shop and a hotel. The security forces opened fire in order to calm down the crowd.

An autopsy conducted by doctors at the Pathology Institute of the Faculty of Medicine at the University of Indonesia (Jakarta) No 200/IBS/SB/2001 came to the conclusion that Theys Hiyo Eluay had died as a result of unnatural causes, because of strangulation/swellings.

The Situation After the 10 November 2001 Incident

One week after the burial of Theys (17.11.01), Thaha Alhamid, 48, the Secretary General of the Papuan Presidium Council received a death threat from someone who sent a text message to his mobile (cell) phone. The short message from this unlawful caller was written in a Papuan style and sent on Wednesday night (27/11), saying "Thaha, get ready to follow Theys." Thaha read the intimidating message at 9.30pm, and the message was recorded as being sent at 9.24pm, from mobile (cell) phone number 0815-1649058. The same thing happened to Boy Eluay, 35, son of Theys Hiyo Eluay, chairman of the Papuan Presidium Council who reported the incident to ELSHAM Papua. Boy had received a number of threatening messages on his mobile phone, and because he felt unsafe, he reported this to ELSHAM on 4 December 2001, after he received another such message, which said: "Boy, you must give proper information. You must help the police because we also help family. We have already received the names of those who killed your father." Boy read this message at 7pm, and the mobile phone number, which sent the message, was 0812-4801124.

In order to try to find out who had made that threatening call, Boy Eluay contacted some people he knows to trace the owner of that number. It turns out that the number of that mobile phone, 0812-4801124, belongs to Police captain, Arif Basra (Papua Police Force). Now Boy Eluay is being closely followed by members of the Papuan Task Force (Satgas Papua), and members of the Koteka Task Force (Satgas Koteka) who are guarding the area around Boy Eluay's home, at housing complex BTN Post 7, Sentani.

Two days after the burial of Theys, on Monday 19 February, at 11.10am, ELSHAM Papua received a phone call from the District Police Commander, AKB Pol Drs. Daud DJ Sihombing, SH, who said he wanted to invite ELSHAM Papua to discuss the mysterious death of Theys. The Jayapura police commander, he did not want to talk long on the phone, either on an ordinary line nor a mobile phone because all lines are being bugged. So it was agreed to have a closed meeting at the ELSHAM Papua office in Jalan Kampus, ISTP Padang Bulan. Then later that day, at 9.35pm, ELSHAM Papua received a phone call from Police Commissioner Boy Rafly, of the investigation division of the Papua police force. He too wanted to discuss the mysterious death of Theys. The meeting with the commissioner was scheduled for 2pm and the meeting with the Jayapura police commander for 4pm. During the meeting, Boy Rafly asked ELSHAM to provide protection for the witnesses of the killing of Theys and said that they (the police) would provide back-up. He also stated that the witnesses who were currently being detained had already been interrogated. They (the police) needed to work together with the ELSHAM Papua leadership in order to discuss protection for the witnesses. Jayapura police commander, Drs. Daud Sihombing SH, stated that from the statements of the witnesses made to the police, it seems they had been summoned by the Satgas Tribuana, Kopassus Unit, though it is not clear why. But the witnesses did not respond to the summons and they felt afraid. It would be better for them go there (to the Satgas Tribuana HQ) together, not just alone, so that they would be frightened by what they heard or what was said by the people who had summoned them (Kopassus), if they were scolded and threatened with death. So, this would be yet another indication on top of the indications already in hand; if they were not the ones who did it, they would not have been making these threats. Isn't that logical? This is my first reason for being here, said the police commander. My second reason is: how can we protect these witnesses. If we handle this ourselves, it may attract attention from people so the police commander suggested that ELSHAM should handle and protect the witness, with the assistance of the district police who will provide back-up and security as well as providing food. During the meeting, the police commander also said that the (results of the) investigation into the killing of Theys would be made public within a week.

In response to this suggestion, ELSHAM Papua sent letter to the provincial police commander, thanking him for the co-ordination with the Papua police force. In principle the protection of the witnesses is a matter of concern for all of us, but ELSHAM Papua as an independent organization was not willing to collaborate with the police on the question of witness protection; in the eyes of the law, witness protection is the responsibility and duty of the police. ELSHAM Papua will continue to conduct investigations in its capacity as an organization operating in the field of human rights in Papua, and the police are responsible for witness protection.

One week after the death of Theys, Made Mangku Pastika (Papua provincial police commander) stated that the abduction and killing of Theys had been carried out by three groups a group who came up with the idea, a group who planned it and a group who executed it. It is quite possible that the three groups did not know each another, but their aim and mission were the same.

There are a number of versions regarding the whereabouts of Aristoteles, Theys' driver who is the key witness. The police initially named Aristoteles as the key witness to lift the veil concealing the truth about the death of Theys Hiyo Eluay. However, on 4 December 2001, in a co-ordination meeting with the Mengkopolkam (Minister for Co-ordination of Police and Law and Order) in Jakarta, Papua provincial police commander, Made Mangku Pastika stated that Aristoles was still alive and was now in PNG.[17] None of the members of the Papuan Presidium Council know anything about the whereabouts of Aristoteles.

ELSHAM Papua's Findings

As has been outlined above, the existence of a top secret document from the Department of the Interior together with the Matoa Awareness Operation (Operasi Sadar Matoa) which was launched by the provincial police points to the role of President Megawati Sukarnoputri (who was vice-president at the time) in contributing to the many civilian deaths in Papua. Theys is the 'climax' of Megawati's policy to crush what they describe as separatism in Papua as well as in Aceh.

Because the policy of the Department of the Interior and of the police force is a part of state policy as a whole, President Megawati's administration should accept responsible for the abduction and death of Theys Hiyo Eluay. The two documents referred to above indicate that there is a systematic approach [18], they demonstrate that it is very well organized, which follows a regular pattern, and there are therefore strong grounds for calling upon the international community to form an independent team to take part in investigating the abduction and killing of Theys Hiyo Eluay. Based on past experience, it is clear that the government and the law enforcement agencies in Indonesia are part of these organized actions. Moreover, there are doubts about the independence of the National Human Rights Commission (KOMNAS HAM) in handling cases of human rights violations in which the armed forces are implicated TNI. [19]

The investigation conducted by ELSHAM Papua regarding the abduction and killing of Theys Hiyo Eluay has brought a number of facts to light. On the night of 10 November 2001, Theys Hiyo Eluay was abducted and killed after having attended a reception held by the Kopassus Tribuana Unit. Theys was not the only one to have been invited to this reception, several other members of the Papuan Presidium Council such as Thaha Alhamid, Willy Mandowen, and Father Herman Awom were also invited. However, they refused to attend; only Theys attended because Colonel (Infantry) Hartomo (Commander of Kopassus Tribuana Unit) went to Theys' house to fetch him on Saturday 10 November 2001 at around 10.30am, bringing a Christmas gift for Theys in the form of a white, long-sleeved shirt. The autopsy by a doctor of the Pathology Department of the Faculty of Medicine at the University of Indonesia, document number 200/IBS/SB/2001 dated 14 November 2001 stated that Theys Hiyo Eluay did not die of natural causes, and recorded it as a suspicious death caused by strangulation and bruises. Testimony from several witnesses also indicates that Aristoteles Masoka (the key witness) is in the hands of Kopassus, and according to the police investigation, he is sill alive.

Recommendations

The results of the ELSHAM Papua investigation, and the testimony of a number of witnesses, indicate that the abduction and killing of Theys Hiyo Eluay was well planned and politically motivated. ELSHAM Papua therefore makes the following recommendations:

That the President of the Republic of Indonesia immediately establish an Independent Investigation Team in order to investigate the case of the killing of Theys Hiyo Eluay.

The Indonesian government should stop the repression in Papua immediately.

The Indonesian government should hold a peaceful dialogue immediately to discuss setting straight the history of Papuan integration.

The Indonesian government should explain, honestly and transparently, the Secret Document issued by the Department of the Interior on 9 June 2000 and its implications.

The President as the Commander in Chief of the Armed forces and the Police should immediately withdraw all non-organic forces, which are currently operating in Papua.

The Indonesian government as well as the Armed Forces and the Police are under an obligation to provide protection to the witnesses in the case of the killing of Theys Hiyo Eluay, as well to human rights activists in Papua.

NOTES:

[1] West Papua was annexed by Indonesia in 1969 as a result of an Act of Free Choice in which 1,025 representatives of Papuans and non-Papuans took part.

[2] West Papua was a colony of the Dutch for about ninety years, when it was known as Dutch New Guinea.

[3] According to investigations by ELSHAM (2000), since then, 10,000 to 20,000 troops have been dropped in Papua.

[4] The assassination of Theys reminds the Papuan people of a similar fate met by Arnold Ap, a leading cultural personality who was hounded down and killed by Kopassanda (as Kopassus was known at the time) on 26 April 1984. In 1996, Dr Thomas Wanggai who proclaimed the idea of West Melanesia was put on trial; he died of poisoning in Cipinang Prison, Jakarta.

[5] Thereafter, the Team of 100 took action to popularize the meeting with Habibie. These activities were received with great enthusiasm by Papuan people, with the setting up of command posts (posko). The establishment of poskos was rejected by the chief of police of Papua in a decree No MK/01/IV/1999, 17 April 1999.

[6] President Abdurrahman Wahid expressed his support by agreeing to attend the Second Papuan Congress which was convened by the Papuan Presidium Council, but he subsequently reversed this decision, saying that he did not want to create the impression that he supported Papuan aspirations for independence. Instead of attending, he contributed Rp 1 billion for the Congress. The Congress produced a seven-point resolution. This included the appointment of Theys Hiyo Eluay as the chairman of the Papuan Presidium Council (PPC) and a statement that an Independent Papua would leave the Republic of Indonesia.

[7] See document entitled: Rencana Operasi 'Tuntas Matoa 2000', Irian Jaya Police No.Pol.:/R/Renops/X/2000.

[8] See definition of 'Crime Against Humanity at the Rome Conference', Darryl Robinson, page 47, American Journal of International Law, Vol. 93, Issue 1 (Jan. 1999), 43 - 57.

[9 Chairman of Pemuda Pancasila, an underbow organization of GOLKAR (state party) involving mostly gangs. Since President Suharto's fall in May 1998, Yorris Raweyai turning to "support" Theys H. Eluay and West Papua independent movement with the climax of Papua People's Congress II 29 May - 4 June 2000. Today Yorris Raweyai becomes "spokesman" of Papua Presidium Council (PDP).

[10] According to monitoring by Indonesian human rights activists, Yorris Raweyai, chairman of Pemuda Pancasila, and his group have been involved in a number of disturbances of a religious and racial nature, such as incidents in Sampit, West Kalimantan and Maluku.

[11] The position taken by Theys points to a 'concealed' conflict between the Papuan Presidium Council and the national Indonesian Government and the Provincial Government, in particular the Muspida. Freddy Numberi is a former governor of Papua (Irian Jaya) and is now Indonesia's ambassador to Italy. He and a number of Papuan intellectuals have been enthusiastically supporting the idea of Special Autonomy. The Papuan political elite at the national level include: Barnabas Suebu, Theo Waimuri, Manuel Maiseipo, and at the local level, the present governor of Papua Jacobus P. Salosa (present governor of the Province of Papua), and academics such as Frans Wospakrik (Rector of Cenderawasih University), Menasa Satya (Director of STIE, the College for Economics Otto & Geisselt, Jayapura)

[12] See interview of Theys Hiyo Eluay in TEMPO, 25 November 2001, page 34.

[13] Koya Tengah is a transmigration site near the border with Papua New Guinea. This is where the corpse of Theys Eluay, the chairman of the Papuan Presidium Council, was discovered.

[14] This is almost identical with what happened at the time of the death of well-known cultural worker, Arnold Ap (26 April 1984). Shortly before he was made to disappear by Kopassanda (now called Kopassus), stories were circulating about a female ghost, 'Sumiati' which greatly disturbed people in Jayapura. The 'Dracula' issue was used by the US military to spread fear among local people in advance of the kidnap of a pro-communist Vietnamese leader.

[15] Satuan Tugas (Satgas) is a para-military organ of the pro-independence movement.

[16] The Tribuana Kopassus base where the 10 November reception was held is about 100 meters from the base of Naval Lantarnal V headquarters of the Indonesian Navy. A further 500 meters along is a post of the South Jayapura Koramil (military command). One km from here, in the direction of Abepura, the motorcar of the victim drove past the Police Section (polsek) of South Jayapura in Entroop. The abduction took place about 80 meters from the South Jayapura polsek, at the first turning, near the Entroop housing compound of the regional government. From the place where the abduction took place to Skyline, the victim's car, now being driven by one of the abductors, passed through the security zone of unit 1 Kostrad and a Brimob post in Skyline, close to the recreation villa of the provincial governor. About 2 kms from the place where the abduction took place is the headquarters of Mobile Brigade (Brimob) of the Irian Jaya Police Force in Kotaraja. Before that is a Kostrad post in the Vuria Indah compound, Kotaraja Dalam. The abductors then drove the victim's car through the zone under the control of Abepura Polsek and Koramil which is about 1.5 kms from the road along which they drove. At the end of this road, they entered the main road in Tanah Hitam where they passed the headquarters of the Kostrad Battalion and a Kopassus post in Tanah Hitam. After reaching Tanah Hitam, the abductors passed another Kostrad headquarters in Abepantai which is about 2 kms from Tanah Hitam. From Tanah Hitam, the abductors calmly drove past a joint guard post at Kilometre 9, which is manned by one Kostrad company and an auxiliary police post from Abepura. The abductors drove past the Km 9 post without being identified, reaching Koya Timur, on the way passing another Kostrad post, a police post and a Kopassus post. On the drive from Koya Timur to Koya Barat they would again pass a Kostrad post manned by troops from Kodam 1/Bukit Barisan (from North Sumatra) and a police post as well as passing another Kopassus post. From Koya Barat, the abductors then drove in the direction of the border with PNG and the victim's car was found in Koya Tengah. It is very clear that within a radius of 1 km, the abductors were in the operational region under the control of a number of units, such as the Kopassus post in Skouw Mabo Village. In the Transat region, there are also posts manned by Kostrad and Kopassus as well as Brimob, close to the estuary of the River Tami to the east, and located close to the international border between Papua New Guinea and West Papua. In an area with a radius of about 50 square kms, along the road taken by the abductors on the road to Arso, Skamto sub-district, there are thirty security posts. These security posts include posts manned by the Police, Kostrad, Koramil and Kopassus. [ELSHAM monitoring, 2000/2001]

[17] METRO TV, Thursday, 5 December 2001 afternoon transmission 6.00 pm. On the following day Friday, 6 December 2001 the same report was published in several national newspapers and in local papers in Papua.

[18] See definition: 'Crime Against Humanity' at the Rome Conference, Darryl Robinson, page 47, American Journal of International Law, Vol. 93. Issue 1 (Jan, 1999), 43 - 57.

[19] For a better understanding of the links between the National Human Rights Commission and the military in connection with cases of human rights violations, see: 'The Indonesian National Human Rights Commission: Its Formative Years'. Published firstly by The South Asian Human Rights Documentation, New Delhi, India, November 2000, and the Indonesian version published by ELSHAM, Jakarta, August 2001.

source : www:freewestpapua.com

Minggu, 13 September 2009

PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT [PEPERA] TAHUN 1969 DI PAPUA BARAT



“Penentuan pendapat rakyat [PEPERA] tahun 1969 yang di laksanakan di Papua barat adalah suatu Manipulasi Sejarah”

-- Prof.P.J.Drooglever --

Demikian kesimpulan Prof. P.J.Drooglever, sebagaimana di sampaikan dalam seminar Act of Free Choice, selasa,15 november 2005 dengan membeda buku yang berjudul “Daad van Vrije Keuze, de Papuan’s van Westelijk Nieuw Guinea, en de grenzen van het Zelfbeschichtingsrecht” [Tindakan bebas memilih dari orang Papua di Nieuw Guinea Barat, dan batas batas penentuan nasib sendiri]. Karya ilmiah Prof. Drooglever, setebal 700 halaman dengan 14 Bab di mulai pada tahun 1999, atas perintah Menlu Josias van Aartsen, yang di amanatkan pula oleh parlemen Belanda. Penugasan kepada sang Prof. tadi, tidak lepas dari suatu gerakan politik belanda, terutama seperti yang di motori oleh partai Gereformeed Politiek Verbond atau Chirsten Unie. Gerakan politik tadi mendapat angin segar setelah Gusdur berkunjung ke Belanda pada bulan februari 2000. Gusdur sebagai presiden, dengan wawasan politik yang luas dan demokratis, telah meroba pradigma Jakarta, yang cenderung tertutup terhadap aspirasi rakyat rakyat Papua. Nama Papua, di kembalikan kepada rakyat dan bahkan dengan nyaman, ia mengijinkan pengibaran bendera bintang kejora sebagai lambing budaya dan identitas orang Papua, bukan sebagai bendera nasional.
Sikap Gus Dur tadi tentu tidak di sambut baik oleh hardlines di Jakarta, diantaranya Wapres Megawati yang merasa Gus Dur telah menghianati perjuangan Bung Karno, yang telah member nama Irian kepada tanah dan bangsa yang tinggal di bekas koloni Belanda, Nederlands Nieuw Guinea. Dua konteks yang mendorong penelitian itu di lakukan adalah, pertama karena Konggres II Rakyat Papua, Mei 1999 mendesak perlunya pelurusan sejarah, karena rakyat Papua merasa jalan sejarahnya menuju kemerdekaan sebagai suatu bangsa, telah di belokkan oleh kepentingan politik Jakarta. Kedua, tampilnya Gus Dur sebagai pemimpin Indonesia yang demokratis.

Temuan Prof.P.J. Drooglever

Prof. P.J. Drooglever menyebut antara lain bahwa Sekjen PBB waktu itu U Thant, dalam laporan akhirnya kepada Majelis Umum PBB, tidak punya pilihan lain, kecuali menyimpulkan bahwa Pepera yang berlangsung 1969 itu, adalah SUATU penentun pendapat rakyat. Di jelaskan bahwa sebetulnya dalam perjanjian New York 15 Agustus 1962 di putuskan suatu proses PLEBISIT, tapi belakangan di ubah menjadi “the act of free choice”,yakni hak untuk menentukan nasip Papua.
Masalahnya ialah kalangan pejabat PBB, khususnya Ortiz Sans, yang di tugaskan PBB sebagai pengawas Pepera, waktu itu merasa sangat meragukan tentang seberapa jauh sebenarnya the act free choice atau Pepera itu benar-benar bias di lakukan oleh penguasa Indonesia. Artinya, apakah benar-benar sesuai dengan azas-azas yang diakui oleh dunia Internasional. Nah, Ortiz Sans dalam laporannya terhadap proses dan pelaksanaan the act free choice, menyatakan bahwa proses itu bukannya suatu act free choice. Jadi dia mengambil jarak terhadap apa yang terjadi di Papua, dan sikap itu juga di ambil oleh Sekjen PBB U Thant. Ini berarti pula bahwa “keberatan yang serius dari masyarakat Internasional”.

Drooglever menyusun bukunya berdasarkan penelitian arsip baik di Belanda, di PBB maupun Arsip Nasional Amerika Serikat dan narasumber, para saksi sejarah dari Papua, Belanda dan saksi sejarah lainnya. Ia menggunakan bahan-bahan dokumentasi yang sebelumnya hamper tidak terpakai.
Bagi Drooglever, act of free choice adalah suatu peristiwa historis, di abad modern ini, sebagaimana di alami oleh masyarakat Papua, takkala oleh kekuatan super power seperti Amerika Serikat, di era perang dingin 1962-1969, melakukan suatu konspirasi politik tingkat tinggi dengan Indonesia, untuk mengamankan rencana Jakarta, memenangkan Act free choice, bagi kepentingan Negara Indonesia.
Masyarakat dunia kini dapat mendengar dan menyaksikan seorang mahaguru yang berhasil mengungkapkan sebuah kebenaran sejarah yang terkubur selama 43 tahun lamanya. Kebenaran itu kini tersingkap betapa rakyat Papua dengan terpaksa harus menelan pil pahit, karena janji untuk berdaulat sebagai Negara yang merdeka, telah berobah menjadi suatu tragedi kemanusiaan. Drooglever memaparkan bahwasannya antara 1962 dan 1969 terjadi suatu proses penyimpangan dari ketentuan New York Agreement, dimana rakyat Papua di jamin berdasarkan praktek Internasional untuk memilih sesuai dengan hati nurani, apakah merdeka atau bergabung dengan Indonesia.

Resistensi Orang Papua terhadap “Amber” [orang Luar]

Buku Pepera yang di luncurkan pada hari selasa 15 November di Den Haag Belanda terdiri dari 14 bab secara historis menuturkan bagaimana orang Papua yang baru bersentuhan dengan dunia modern di abad 16 oleh bangsa Spanyol. Antara abad 16 hingga akhir perang dunia 2 Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, tak punya niat untuk memperhatikan Papua, karena secara ekonomis wilayah itu tidak punya arti. Kendati demikian, tak boleh di sangkal peranan para Missionaris Barat yang memulai gerakan penginjilan di Papua di tahun 1855. Era baru bagi Papua di mulai oleh semangat pekabaran Injil, dan inilah proses di mana tanah Papua di duduki dan di kuasai para penginjil Jerman, Belanda dan penginjil serta guru jemaat asal Maluku dan Kei.
Drooglever mengungkapkan fakta di masa lalu, bahwa orang Papua di pandang lebih rendah oleh orang Ambon dan Kei sebagai “amber” [sebutan untuk pendatang] sebagai mereka yang merampok, dengan mengingat perang-perang hongi yang penuh dengan darah dan perbudakan. Sentiment anti “amber” telah berkembang sejak awal abad 20 dan hal itu dari waktu ke waktu belum sempat mengalami proses pertobatan dan rekonsiliasi. Droolever menggaris bawahi perasaan atau sentiment “anti amber” itu tetap hidup dengan subur, kendari perjumpaan orang Papua dengan para pendatang itu semakin besar pasca Perang Dunia ke II.
Kontrol Belanda terhadap wilayah Papua, barulah terasa efektif setelah PD II (1950-1961). Papua di bebaskan dari tentara AS dari kekuasaan Jepang, dan untuk seterusnya kepada Belanda Papua di serahkan untuk diurus. Dalam kurun waktu 11 tahun itu, dan ini setelah commissioner Van Eckhout membenahi administrasi pemerintahan dan pembangunan, Papua di anggap sah menjadi koloni Belanda. Pembangunan di bidang pendidikan, pertanian, kesehatan merupakan focus dalam kurun waktu tadi, dan Belanda secara meyakinkan bahwa wilayah Papua secara pasti harus di pisahkan dari Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Rakyat Papua, pada pihak lain tidak diam. Suatu gerakan Messianis yang lahir di awal abad 20 terus menampakkan perlawanan baik terhadap Belanda maupun terhadap Jepang. Gerakan ini bukan saja suatu fenomena agama adat, tetapi juaga merupakan resistensi budaya dan politik, untuk mempertahankan identitas orang Papua.
Pada tahun 1961, pemerintah Belanda telah mengeluarkan peraturan pemerintah menetapkan Bendera Bintang Kejora sebagai lambing, dan lagu Hai Tanahku Papua sebagai nyanyian kebangsaan, bersamaan dengan Dewan Rakyat Papua [Noeuw Guinea Raad] yang sudah efektif sejak tahun1960. Semangat yang sempat lahir dan harapan untuk berdaulat sebagai suatu bangsa, tiba-tiba di brontokan oleh Bung Karno melalui pidato Trikora 19 Desember 1961 di Jogjakarta. Tujuan Trikora ialah membubarkan “negara boneka Papua buatan Belanda”.
Drooglever dengan seksama menggambarkan intraksi tingkat elite antara PM Luns dari Belanda dan Presiden AS John F Kennedy asal partai Demokrat, dimana Luns pada awalnya meminta PBB agar proses Internasionalisasi Papua, tidak melibatkan pihak Indonesia. Nampaknya Bung Karno tidak tinggal diam. Ia melirik kepada Uni Sovyet untul dukungan militer dalam soal Papua. Ancaman Indonesia untuk memproleh dukungan Rusia telah membuyarkan harapan Belanda mendapat dukungan politik dan militer dari sekutunya. Setelah Bung Karno mendeklarasikan invasi militer ke Papua dan rencana aneksasi secara menyeluruh rakyat dan militer, maka Belanda dengan sangat terpaksa tundu atas desakan AS untuk menyerah, karena AS akan sangat sulit untuk terlibat dalam suatu suatu konfrontasi militer, jika terjadi perang baru di kawasan itu. Pada tanggal 2 Januari 1962 Belanda bersedia melibatkan Indonesia dalam perundingan tentang masa depan Nieuw Guinea, Papua.

Bunkers Plan

Konfrontasi militer yang hamper saj pecah dan dapat menyulut suatu Perang terbuka Belanda dengan Indonesia, akhirnya di atasi oleh proposal Bunker, duta besar AS di PBB. Inti rencana Bunker ialah bahwa Papua akan dialihkan dari pemerintah Belanda ke Indonesia, setelah suatu kurun waktu singkat di bawah pengawasan PBB. Perdebatan di parlemen Belanda membutuhkan hasil bahwa setelah kurung waktu transisi tersebut, rakyat Papua masih akan menentukan hak untuk berdiri sendiri. Drooglever menyebutkan tentang drama memprebutkan dan mempertahankan Papua, oleh Belanda dan Indonesia, akhirnya berakhir pada perjanjian New York 15 agustus 1962. Perjanjian New York ini megatur bahwa Papua akan segera dialihkan oleh belanda ke PBB dan bahwa di akhir tahun 1969 akan di lakukan apa yang di inginkan oleh Belanda, sebagai “An Act of Free Choice”. Kelemahan besar dari Belanda adalah bahwa proses administrasi dalam masa transisi itu hanya di kelola pihak Indonesia, dan dapat di pastikan bahwa pelaksanaan Act of Free Choice bakal berlangsung di bawah standar Internasional. Belanda masi bias mengatakan bahwa mereka telah melakukan yang terbai bagi Papua, tetapi masyarakat belanda sudah mencurigai perjanjian 15 Agustus 1962 di New York itu adalah awal dari kegagalan Belanda memenuhi janjinya pada rakyat Papua untuk dapat menentukan nasibnya sendiri secara adil dan benar.

Act of Free Choice : Peristiwa yang Memalukan.

Drooglever dalam studynya telah melakukan wawancara dengan ratusan tokoh Papua. Ia mencatat bahwa rakyat Papua sejak awal menyafsirkan bahwa peralihan Papua kepada PBB (UNTEA) dan rencana Act of Free Choice tidak membawa harapan bagi orang Papua. Mereka saksikan bahwa kekuatan PBB secara militer sangat lemah, apalagi penempatan pasukan perdamaian PBB asal Pakistan hanya bertaha setahun. Sementara itu pengiriman pasukan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Udara dari Jakarta begitu banyak, dimana sulit di bayangkan bahwa Indonesia akan melepaskan Papua menjadi Negara yang berdaulat. Kehadiran personil UNTEA sengaja dibatasi atas desakan Indonesia, sementara itu Ortiz Sans sebagai pengawas PBB untuk Pepera mendapat ruang gerak yang sempit, bahkan jumlah stafnyapun di perkecil. Ketika Ortiz Sans melaporkan kepada Sudjarwo Tjondronegoro bahwa terjadi perlakuan yang tidak benar oleh petugas Indonesia termasuk militernya, Tjondronegoro sebagai pengantara UNTEA dan Indonesia menganggapnya inappropriate, atau tidak pantas untuk di tanggapi. Niat untuk melakukan suatu Act of Free choice di Papua secara sistematis dan berencana di alihkan ke suatu proses yang di rekayasa oleh Jakarta.
Ortiz Sans tidak diperkenankan mengambil peran yang signifikan dalam proses persiapan maupun ketika di implementasikan Pepera antara Pepera antara bulan Juli-Agustus 1969. Drooglever mencatat dalam laporannya, bahwa dari semua saksi orang Papua, para wartawan luar negeri, para diplomat, khususnya para pengamat mancanegara menyimpulkan bahwa apa yang terjadi dengan peristiwa Act of Free Choice adalah tidak lain suatu yang memalukan. Tjondronegoro di pandang sebagi arsitek yang cerdik dan tangkas memanfaatkan Pepera untuk kepentingan Indonesia.
Dalam wawancara Drooglever dengan Radio Nederlandas, Drooglever mengatakan bahwa ia sadar bahwa hasil penyelidikan Act of Free Choice dan kebenaran yang ia temukan akan membuat semacam iritasi di pihak Republik Indonesia, bahkan tidak maksudkan bahwa studynya akan menjadi alasan untuk terancamya NKRI. Kendati begitu, buku ini telah menyingkap sebuah nokhta hitam dalam sejarah kerajaan Belanda, terhadap rakyat yang pernah dijajah, di Nederlands Nieuw Guinea; tetapi Pepera (Act of Free Choice) di Papua Barat berakhir dengan suatu peristiwa yang memalukan.