Rabu, 04 November 2009

Papua Barat: Hal Memalukan bagi Indonesia yang terus berlanjut


Apakah WPNA untuk Berdamai dengan NKRI seperti Kasus Acheh ataukah untuk Papua Merdeka?

By Damien Kingsbury, Associate Head (Research) of the School of International and Political Studies at Deakin University and author of "The Politics of Indonesia"

Memasuki tahun kesepuluh sejak kejatuhan Presiden otoriter Suharto, Indonesia telah mengalami kemajuan terhadap konsolidasi sistem demokrasi, menghargai aturan hukum dan mengatasi kepatihan berdasarkan perbedaan etnik.

Telah dicatat bahwa setelah beberapa kali diawali dengan berbagai kesalahan, pemilihan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membantu mengkonsolidasikan proses reformasi. Walaupun demikian kemajuannya, Indonesia masih memiliki catatan khusus bagi demokrasi dan HAM, yaitu di Papua Barat.

Memang ada harapan setelah 2001 dimaksudkan sebagai bahwa proses desentralisasi politik dan ekonomi Indonesia akan memberikan tingkat otonomi yang sepatutnya.

Dalam kertas paket "otonomi khusus" diberikan kepada Papua Barat, dan provinsi bermasalah lainya Aceh, dilihat untuk mengatasi banyak masalah yang mengusik.

Walau begitu sebagaimana telah dinyatakan berbagai pengamat, status "otonomi khusus'bagi Papua Barat secara metodik diremehkan sampai ia mendekati tak berarti sama sekali.

Khususnya membagi provinsi itu menjadi tiga provinsi, yang kemudian diratifikasi oleh Pengadilan Konstitus menjadi dua, merusak banyak sekali substansi dari paket otonominya. Sebuah proposal untuk bahkan membentuk provinsi baru menghapus paket "otonomi khusus" yang sebenarnya.

Sementara itu, sejak terjadi penarikan [asukan dari Aceh pascaperdamaian dinegosiasikan, Papua Barat telah menyaksikan pendropan pasukan dan paramiliter polisi yang begitu berarti. Kondisi HAM, walaupun tidak ada pada tingkat terburuk, akibatnya semakin memburuk.

Masalah Papua Barat yang mendasari masalah dengan Jakarta adalah cara wilayah ini dimasukkan ke dalam negara Indonesia tahun 1968. Dalam kasus ini, setidaknya seribu orang yang dipungut dari pemimpin kampung-kampng dipaksa untuk menerima integrasi paksa ke dalam Indonesia tahun 1963. Proses ini disangsikan oleh PBB, tetapi didiskreditkan sejak itu.

Papua Barat tidak hanya dibangun oleh banyak pemimpin Indonesia sebagai pusat kegiatan untuk merampungkan proyek nasionalis mereka, tetapi kekayaan alamnya juga cukup membantu dasar perekonomian Indonesia.

Pada umumnya sebagai lembaga yang mendanai diri sendiri, militer Indonesia, TNI, juga memiliki kepentingan ekonomi utama di Papua Barat, dan untuk kedua alasan inilah dengan tegas menolak pemisahannya.

Walaupun ia sebagaai satu provinsi yang kaya raya, kebanyakan orang Papua adalah orang miskin, berpendidkan sangat renadh, dengan indikator kesehatan dan pembangunan lainnya.

Dan, sebagai orang Melanesia, orang Papua Barat diremehkan oleh orang Melayu Indonesia dengan sikap mulai dari kasihan sampai jijik. Banyak orang Indonesia, khususnya orang dalam militer, memandang orang Papua Barat sebagai setengah manusia, belum sepenuhnya manusia, yang berakibat berbagai pelanggaran HAM.

Menyusul perjanjian perdamaian Aceh yang telah memberikan kemakmuran dalam kedamaian dalam dua tahun belakangan ini, banyak pemimpin politik Papua Barat berharap penyelesaian yang serupa untuk Papua Barat.

Untuk mencapai tujuan ini, tahun lalu, berbagai kelompok politik dari provinisi ini, termasuk Free Papua Organisation (OPM), berkumpul bersama dalam payung West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).

Kata "liberation" dalam WPNCL maksudnya membebaskan orang Papua Barat dari operasi, tidak harus berarti memisahkan diri dari Indonesia.

Akan tetapi, hingga saat ini President Yudhoyono sudah menolak berbicara dengan WPNCL, paling tidak lewat mediasi initernasional, barangkali merasa takut terjadi backlash dari politik Jakarta yang begitu terbai-bagi dan mementingkan diri sendiri.

Jadi menyusul sukses yang relativ sukses, proses yang sama barangkali dapat memberikan cara untuk penyesaian bagi isu separatis yang begitu lama sementara secara signifikan meningkatkan kehidupan dari orang yang telah lama diperlakukan sebagai orang kelas dua.

Dalam perspektiv internasional, penyelesaian seperti ini akan menghilangkan hambatan secara signifikan dalam hubungan Indonesia dengan pihak lain, khususnya dengan Australia dan AS.

Isu Papua Barat masih memiliki potensi merusak hubungan bilateral, khususnya dalam kasus Australia harus menerima kapal berisi banyak orang Papua yang datang melarikan diri ke Australia sebagai pencari suaka. Perjanjian Lombok tahu lalu tidak menghalangi kewajiban kemanusiaan internasional Australia untuk menerima pencari suaka yang memang takut dibunuh, dan dengan demikian isu orang Papua Barat terus muncul di bibir anggota Kongres AS.

Memang merupakan kepentingan Indonesia, dan teman-temannya, untuk melihat masalah Papua Barat untuk menghilang. Tetapi itu tidak dapat terjadi dengan cara menyembunyikannya di bawah karpert, seperti dalam kasus Timor Timur sampai referendum tahun 1999.

Malahan masalah Papua Barat akan hanya menghilang ketika pemerintah Indonesia memutuskan untuks secara serius menangani berbagai isu yang mengganggu wilayah ini.

Masyarakat internasional punya peran dalam memonitor peristiwa-peristiwa di Papua Barat, paling tidak dengan memberikan izin masuk ke sana tanpa larangan. Dan masyarakat internasional barangkali, sama seperti Aceh, punya peranan dalam memediasi dan mndampingi pelaksanaan perjanjian di masa depan.

Dalam hal ini, Indonesia dapat membangun atas dasar keberhasilannya di Aceh, yang menyebabkan pujian masyarakat internasional, bahkan dinominasikan sebagai penerima Nobel Perdamaian. Pertanyaan sesungguhnya adalah apakah Indonesia memang serius dengan reformasi, ataukah pencapaian demokratisasi akan dibiarkan terperosok ke dalam kekangan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar