Pengantar
Melanesia adalah sebuah suku, sebuah ras, sebuah satuan manusia dengan budaya dan ras yang khas, berbeda dengan penjajahnya, manusia keturunan proto-Malay, yang secara ras dan suku diperkirakan berawal dari wilayah sekitar Burma. Kalau kita menelusuri kembali sejarah penjajahan dan pemusnahan bangsa ini, kisahnya sungguh menyentuh hati nurani mereka yang masih tersisah, yang masih berada dalam "peti mayat", menunggu hari dan tanggal upacara penguburan.
Bangsa Melanesia, kalau mau dibandingkan dengan teman terdekat mereka secara ras dan budaya, bangsa Negritos di Afrika, maka mereka adalah suku-bangsa yang paling tersiksa dan yang paling lemah. Tidak sama dengan teman terdekat mereka di Afrika, mereka hidup dalam kelompok-kelompok yang sangat kecil. Mereka hidup dalam suku-suku yang terpisah satu sama lain. Mereka pihak yang paling lemah melawan ancaman dan penjajahan bangsa luar, utamanya proto-Mayay. Kalau Afrika secara sistematis dimusnahakan oleh bangsa-suku putih atau disebut dunia Barat, maka Melanesia menjadi makanan empuk bangsa-suku proto-Malay. Sangat jelas bangsa kulit putih dan proto-Malay bersama-sama memiliki pola hidup yangtidak manusiawi dan berambisi memusnahkan penduduk pribumi, khususnya yang berkulit hitam dan berambut keriting. Nafsu menjajah dan merampok tanah dan harta milik orang lain telah meracuni hati dan benak mereka. Apapun yang mereka buat, mereka justifikasi dengan berbagai teori dan studi. Saat penduduk pribumi mau membuka mulut berteriak minta penghargaan sebagai sebuah suku-bangsa, mereka selalu dicap sebagai teroris dan separatis, lalu kebanyakan diburu dan dikejar habis-habisan, sampai mereka harus menjadi tamu di tanah sendiri. Kebanyakan mereka menjadi "penjahat yang harus diburu" di negeri sendiri. Mereka harus menderita di hutan dan di gua, seolah-olah merekalah yang bersalah. Padalah mereka hanya manusia, suatu bangsa yang berteriak, "Hargai saya, saya manusia, punya jati diri dan harga diri, yang punya tanah dan kekayaan ini!" Apakah ini kalimat-kalimat seorang racist dan facist? Tidak, ini realitas.
Kalau suku-bangsa Afrika memiliki kebanyakan dataran Afrika, temanya yang disebut Melanesia memiliki hampir seluruh dataran Asia dan Pasifik. Tanahnya itu terbentang dari Thailand, Filipina, Malaysia, New Guinea, Australia, Timor, dan kepulauan Micronesia. Mereka adalah penduduk pribumi, tuan tanah seluas wilayah ini. Mereka berhak penuh atas wilayah ini. Tetapi sial, mereka adalah bangsa yang paling disiksa dan yang paling ditindas oleh para proto-Malays dan bangsa kulit putih.Marilah kita melihat, mengapa suku-bangsa ini sebenarnya sudah ada di "peti mayat." Barangkali ini membangkitkan emosi, tetapi sekali lagi, "Ini kenyataan!"
Pertama: Perbudakan Kasar
Isu yang paling menyakitkan adalah apa yang dikenal "jual beli manusia" atau 'slavery' (perbudakan). Dalam catatan sejarah manusia, perbudakan dilaporkan hanya terjadi di Afrika. Kenyataan bercerita lain, peremehan martabat manusia menjadi setengah manusia ini tidak mengabaikan suku bangsa Melanesia. Bangsa kulit putih itu juga datang menjajah dan merampas baik proto-Malay dan Melanesia.
Beberapa dokumen yang sempat dikumpul membuktikan, banyak suku bangsa Melanesia di Filipina, Papua New Guinea, Merauke, Fiji dan sekitarnya yang dibawa dengan paksa. Para budak itu, kalau dibanding dengan mereka yang dari Afrika, tidak perlu dibeli. Mereka dapat diambil di hutan rimba wilayah Melanesia. Banyak dari mereka disangka dibunuh musuh oleh keluarga mereka. Kalau mereka temukan wanita dan anak-anak, mereka dibunuh, yang dibawa adalah pemuda lelaki yang dapat bekerja dengan kuat. Melanesia adalah budak termurah, diambil tanpa satu senpun, dan dapat dipergunakan seoptimal mungkin untuk keuntungan sebesar-besarnya.Hasil perburuan manusia di wilayah Melanesia telah sangat menguntungkan penjajah kulit putih di Australia, Selandia Baru, dan Belanda. Ekonomi negara-negara Eropa pada waktu itu menjadi sangat maju. Akhirnya lahirnya revolusi industri dan pertanian, yang berakhir dengan melupakan isu perbudakan.
Berakhirnya tindakan perbudakan dikleim oleh kaum gereja sebagai kemenangan kampanye moral mereka, tetapi bukan demikian. Yang terjadi adalah tenaga-tenaga budak tidak diperlukan lagi oleh para pembeli dan pengguna budak. Mesin telah meggantikan mereka. Apa yang mereka cari, yaitu "uang" dari hasil perbudakan. "Uang" yang mereka cari itu, kalau dibandingkan antara hasil dari perbudakan dan hasil dari mesin, maka mereka melihat, hasil dari mesin lebih melimpah daripada hasil perbudakan. Dari sinilah, perbudakan manusia diabaikan. Hukum ekonomi berlaku di sini, "Dari modal dan pembiayaan yang sedikit-dikitnya mendatangkan untung yang sebesar-besarnya" dan hasil perbudakan justru menghabiskan banyak dana. Jelas, alasan pemusnahan perbudakan adalah ekonomis, bukan moral.
Kedua: Perbudakan Ala Manusia Paska Modern Lebih Jahat
Perbudakan ala paska modern lebih berbahaya. Alasan pertama karena mereka yang diperbudak tidak akan pernah sadar akan perbudakan atas harkat dan martabat mereka. Kedua, karena yang memperbudak sendiri tidak akan mengakui bahwa tindakan mereka adalah memperbudak. Ketiga, karena dua alasan ini, hampir sulit untuk memusnahkan perbudakan ala paska modern ini.
Mereka yang diperbudak justru akan merasa diangkat, yaitu diangkat dari ketertinggalan dan keterbelakangan kepada kehidupan yang "lebih baik." Saya masih ingat. Saya pernah disuruh cuci piring, cuci pakaian, bersihkan halaman, dan lain sebagainya. Saya diperintahkan seolah-olah seperti mesin, tanpa memperhatikan kebutuhan pribadi saya. Saya diberi makan di luar dapur. Saya melihat diri saya berarti bagi mereka, tetapi saya diperlakukan sederajat dengan mesin cuci, mesin babat, mesin cangkul dan sebagainya. Saya tidak pernah akui bahwa saya diperbudak.
Malahan saya sangat berterima kasih kepada mereka. Ada banyak pemuda Melanesia di Papua Barat yang dibawa ke Jayapura dari pedalaman serta ada yang dibawa ke Jawa dan Bali. Yang dibawa merasa sedang diperlakukan baik, padahal yang membawa tidak. Ini sebuah dilema moral untuk menjustifikasi, karena barangkali berbeda orang menilainya secara berbeda. Demikian pula, mereka yang memperbudakpun akan merasa marah kalau tulisan ini mucnul ke mata mereka. Mereka akan mengatakan, "Kami menolong anda keluar dari kampung dan keterbelakangan dan kami telah sekolahkan anda untuk menjadi 'manusia', yaitu berguna bagi orang banya."
Tanpa sadar, kedua belah pihak juga adalah budak dari sebuah sistem, sistem yang berorientasi pada "uang." Kedua pihak adalah budak dari mereka yang tinggal dengan dasi, berjalan dengan mobil, dan berbicara dengan mobile phone. Mereka tidak dikenal oleh para budaknya. Ini yang paling sulit. Kalau budak mau memerdekakan diri, mereka tidka tahu merdeka dari tuan siapa, karena tuan itu bukan "seseorang", tetapi "sesuatu", yaitu "uang." Kalau kita bertanya kepada siapapun di dunia ini, "Dapatkan anda hidup tanpa uang?", maka barangkali 99,99 persen akan bilang, "Kami akan mati tanpa uang." Padahal, kalau kita lihat sejarah "uang", itu hanya dimulai sejak sekitar 10 ribu tahun yang lalu dan umur bumi dan kehidupan tanpa uang adalah jutaan tahun. Uang hanya dimulai untuk menolong para pedagang budak.
Tanpa sadar atau tidak, kita semua adalah budak. Kita semua budak dari "sesuatu" yang saya dapat rujuk sebagai "seseorang." Perbudakan manusia secara langsung dialihkan menjadi perbudakan manusia dengan mata uang. Perbudakan purba terlihat dengan mempekerjakan orang di lapangan, di kebun dan di rumah dengan upah makan dan minum. Perbudakan paska modern ditandai dengan mempekerjakan orang di dalam bangunan (kantor, industri, dll), yang walaupun terlihat tidak sama tetapi teori dasarnya jelas merupakan perbudakan. Ingat, berikut ini riwayat perbudakan seorang budak yang disebut 'guru.' Setiap pagi budak harus bangun, siapkan pelajaran, masuk kelas, berdiri di debu kapur, bicara sampai leher kering, siapkan soal ujian, memberi ujian, mengisi formulir gaji, usulkan kenaikan gaji, menyokong atasan, dan lain sebagainya. Kalau tidak, apa yang terjadi? Gaji dipotong, pangkat tidak naik dan bahkan dipecat. Inilah nasib seorang budak, namanya "guru."
Ingatlah, perbudakan tidak pernah berakhir, yang terjadi adalah perubahan bentuk atau wujudnya. Lihat, tilik, tanya kepada dirimu, "Apakah saya juga budak, budak di jaman paska modern ini?"
Ketiga: Penjarahan Milik bangsa Melanesia
Sementara orangnya diperbudak, hasil bumi dan sumbedaya alam suku-bangsa Melanesia dirampas dan dijarah habis-habisan. Contoh di Papua Barat sudah cukup jelas untuk membuktikan ini. Tanah bagi para transmigran dicaplok pemerintah tanpa kompensasi, dan bagi yang melawan diperlakukan tidak manusiawi. Pohon-pohon ditebang tanpa restu masyarakat pribumi. Di Jayapura kita lihat PT Hanurata, PT You Liem Sari, PT Wapoga Timber Group dan lain-lain. Bukan perusahaan saja, para pendatangpun menyerbu hutan-hutan Papua. Dipimpin oleh pendatang bersuku Makasar, di hutan-hutan berbunyi mesin-mesin chain-saw. Mereka membayar dengan rokok, supermi dan beras saja.
Contoh lain adalah penjarahan oleh PT Freeport MacMoRan, yang berbasis di New Orleans, Amerika Serikat. Teman-teman di Afrika dan Papua New Guinea bermasalah dengan rekan penambang raksasa namanya Rio Tinto Zink, perusahaan Anglo-Australia. Peta penambangan semesta menunjukkan bahwa kandungan emas di Papua Barat adalah yang terbesar di dunia di abad ini. Dan ini akan dibawa keluar dengan paksa oleh para perampok. Sejarah perlawanan rekan-rekan kita di Bougenville, PNG dan di Filipina memberikan pelajaran pahit. Mereka diburu habis-habisan. Mereka dibilang teroris dan geirlya liar. Barangkali Kelly Kwalik adalah salah satu dari mereka. Orang tuanya, saudara kandungnya, semua telah hilang di tangan peluru dan senjata buatan barat, yang dibawa pasukan Republik Indonesia.
Teman-teman di Bougenville menyangka pemerintah PNG sebagai musuh mereka, kita di Papua Barat menyangka Indonesia sebagai musuh kita, mereka di Filipina menganggap pemerintah mereka sebagai musuh. Ini semua salah. Ini yang disebut salah kaprah oleh kita orang Melanesia. Untuk Papua Barat, baik Indonesia dan Papua adalah budak-budak di zaman paska modern, yang diperkosa, diadu-domba dan dirampas habis-habisan oleh para penjajah dan pedagang budak. Hal ini tidak hanya terjadi di Papua Barat. Pengalaman teman-teman di Malaysia adalah dengan proyek kelapa sawit dalam skala sangat besar. Tanah mereka dirampas untuk penanaman. Ini nama suku teman-teman anda di Malaysia: Yahai, Batek, Mendrik, Kensio, Kintak, Lano, Semnam. Mereka telah dipojokkan dan hampir dimusnahkan.
Teman-teman kita di Filipina juga kita perlu kenal adalah Aetas, Agta, Mamanua, Ati, Alta, Ata, yang oleh penjajah dipanggil Dumaga, Baluba, yaitu sama dengan kita Papua Barat disebut Irian Jaya. Hutan, yang merupakah rumah mereka telah dihabisi dengan penebangan secara besar-besaran. Mereka dilarang berkeliaran di hutan. Mereka hanya diizinkan membangun rumah di pesisir kali dan laut. Mereka tidak diperkenankan berburu sekalipun. Lembaga-lembaga konservasi telah menguntungkan pemerintah dengan melarang penduduk asli, tetapi tidak sanggup mengusir para pengusaha dengan kantong tebal dan tangan besi.
Keempat: Social-engineering programmes
Istilah social-engineering programme barangkali kita pinjam dari para sosiolog atau antropolog. Kata orang, manusia bisa dicetak semau kita, sama dengan kita cetak pakaian, sepatu, atau bangun rumah dengan warna, ukuran, dan model semau kita. Katanya, manusia, kalau semuanya dijadikan rambut lurus atau proto-Malay dan barat, maka perlu dilakukan sebuah program untuk pencetakan manusia seperti itu. Program social engineering yang terbesar dan terjahat dalam sejarah peradaban manusia dan dalam sejarah engineering manusia adalah apa yang kita kenal, 'transmigrasi'. Program itu terjadi di tanah suku-bangsa Melanesia, lokasi geografinya Papua Barat. Transmigrasi artinya mendrop orang dari suku lain ke suku dan wilayah yang baru, dan lama kelamaan membiarkan mereka membaur dengan masyarakat pribumi dan menguasai mereka. Proyek yang didanai Bank Dunia ini adalah suatu "nightmare" bagi masyarakat Melanesia di Papua Barat, tetapi dikleim Indonesia sebagai "pemerataan penduduk dan pemerataan pembangunan." (Kita dapat berargumen tentang dua sisi pembangunan, tetapi lain waktu.)
Selain tanah dirampas, hak untuk hidup sebagai orang pribumi juga diutak-atik. Orang Papua dipaksakan menanam padi, dan melupakan umbi-umbian. Makanan sagu yang lebih bermutu daripada beras dibiarkan terlantar, dan malahan ditebang habis-habisan. Dengan kata lain, akar semua orang Papua sedang cabut keluar dari tanah Papua Barat. Danorang Papua justru terbuai untuk makan nasi. Kata mereka, "Saya masih rasa lapar kalau tidak makan nasi. Sagu saja tidak cukup." Yah, aneh, tapi nyata.
Jangan pikirkan diri sendiri, kita perlu kenal teman-teman kita, bangsa Melanesia di Thailand, yaitu orang Mani, Yahai, dan Konsiao. Mereka diburu habis-habisan. Mereka ditembak dan dijajah. Anak-anak mereka diwajibkan ke sekolah, dan diindoktrinasi dalam budaya modern. Mereka sama sekali menjadi minoritas di tanah sendiri. Hampir bangsa-bangsa di dunia ini tidak pernah menyangka bahwa penduduk asli Thailand sama dengan Malaysia dan Filipina, yaitu suku-bangsa Melanesia. Mereka telah di-engineered, tetapi masih tersisah puluhan ribu orang. Mereka perlu kita untuk bekerjasama dalam menghadapi musuh yang mau memusnahkan kita.
Jangan pernah menyangka orang Melanesia hanya ada di Pasifik. Tuan tanah negeri dengan penduduk terbesar kedua di dunia, India adalah bangsa Melanesia suku Andamanis, Onge, Sendinel, Kurumba, dan Chenchu. Sekali lagi, mereka telah menjadi orang minoritas di tanah sendiri. Mereka tidak memilik kuasa sedikitpun dalam menjalankan pemerintahan di India. Mereka diperlakukan sama dengan binatang.
Social engineering programme sebenarnya dimulai oleh bangsa kulit putih. Kita dapat melihat apa yang telah terjadi di Afrika secara transparan. Apa yang sedang terjadi di PNG juga jelas.Uni Sovyet secara besar-besaran telah mengkampanyekan program ini, tetapi rupanya ia gagal. Bangsa kulit putih telah berhasil mendiami Benua Afrika, Benua Amerika, Benua Australia.
Mereka berasal dari satu benua, Benua Eropa, tetapi telah menguasai benua lainnya secara merata. Mereka mengkleim Afrika sebagai negara mereka. Mereka mengkleim Australia sebagai negara mereka. Mereka mengkleim Selandia Baru sebagai negara mereka. Mereka menjadi negara raksasa di tanah orang hitam di benua Amerika.
Social engineering programme yang dibuat oleh Inggris begitu sukses di Fiji. Sekitar 60% penduduk Fiji adalah suku-bangsa proto-Malay dari India. Perancis tidak mau kalah dengan program ini. Di Kanaki, New Caledonia, 55% penduduknya adalah bangsa kulit putih, berbahasa Perancis.
Kalau kita masih bisa mengikuti berbagai jenis protes di negeri barat dengan istilah GM atau GMO atau GM Food, maka inilah tindak lanjut dari social-engineering yang telah berhasil dilakukan. Walaupun satunya terhadap manusia dan yang satunya terhadap tumbuhan dan binatang, keduanya berkhas serupa. Mengapa GMO mendapat kritik pedas dari masyarakat modern khususnya di negeri barat? Tentu karena mereka tidak mau makan makanan yang telah diolah secara kimia, dan yang telah dicampur secara biologis.
Kata Akhir
Barangkali semua suku-bangsa pribumi di seluruh dunia akan bertanya, "Kokh, aneh ya. Protes terhadap social engineering sama sekali tidak ada, sedangkan protest atas engineering tumbuhan dan hewan menjadi liputan berbagai media dan menjadi bahan debat politik?" Satu hal yang pasti adalah bahwa program social engineering justru diprakarsai oleh mereka, dan itu sangat menguntungkan mereka. Tentu mereka tidak bisa sebodoh itu melawan kepentingan mereka sendiri. Sedangkan GM food justru merugikan mereka, bukan masyarakat pribumi karena GM crops belum secara meluas diuji-coba di daerah kita. Lihat saja, setelah GM food ditolak di dunia barat, para pengusaha akan melirik ke wilayah masyarakat pribumi, dan suara kita minta tolong sekaligus akan diabaikan, seperti mereka mengabaikan seruan untuk menghentikan program social engineering.
Sebagai suku-bangsa yang di peti mayat, yang sedang menunggu penguburan, tak ada harapan untuk berbuat apa-apa. Mayat tak mungkin bekerja. Tapi jangan hilang harapan. Ingat, orang Melanesia, anda pemilik tanah dan negeri di seluruh Asia dan Pasifik. Anda tuan tanah. Anda pemilik semuanya. Tetapi sayang, Anda begitu lemah. Anda diburu dan dibantai habis-habisan. Dan saat ini Anda sudah ada di peti mayat. Yang dapat merubah nasib Anda adalah sebuah "mujizat."Mujizat itu harus datang dari suku-bangsa Melanesia sendiri.
Masyarakat suku-bangsa Melanesia harus bersatu-padu, bergandeng tangan, seia-sekata dan seirama dalam menegakkan hak dan harga diri yang sudah lama diinjak-injak dan diperkosa.Barangkali tepat, kalau saya mau tutup tulisan ini dengan mengundang kita semua berpikir ke depan untuk menjalin kerjasama, mengusir penjajahan dalam berbagai bentuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar